Anjar Syaefa

Selasa, 18 Maret 2014

Macam-macam sumber ajaran Islam

BAB III
PEMBAHASAN
1.  Pengertian Sumber Ajaran Islam
Sumber dapat diartikan sebagai tempat yang darinya dapat di peroleh  bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sesuatu. Hutan misalnya, sebagai sumber bahan untuk keperluan bangunan dan alat-alat rumah tangga, seperti kayu, bambu, dan rotan. Selanjutnya, gunung, dapat menjadi sumber bahan bangunan dan tambang, seperti pasir, kapur, emas, perak, dan tembaga. Demikian juga laut dapat menjadi sumber bahan makanan, mutiara, bahan bangunan, seperti pasir, dan karang.
Dalam bahasa indonesia, sumber diartikan mata air, perigi, misalnya mengambil air disumber, dan berarti pula asal ( dalam berbagai arti ), misalnya kabar dari sumber yang dapat di percaya, dan sekalian kutipan harus disebutkan sumbernya. Dalam bahasa arab, sumber di sebut masdar yang jamaknya masdir, yang dapat diartikan starting point ( titik tolak ), poin of origin ( sumber asli ), origin ( asli ), infinitive ( tidak terbatas ), verbal nounce ( kalimat kata kerja ), dan absolute or internal object ( mutlak atau tujuan yang bersifat internal ).
Islam sebagai bangunan atau kontruksi yang didalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan sebagainya membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan guna mengkontruksi ajaran islam tersebut.
Dengan mengacu kepada firman Allah,
Description: G:\Khusus Data Kuliah UU\Semester 4\4_59.png
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an ) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa’:59)
Dapat diketahui bahwa sumber ajaran islam ada tiga, yaitu Al-Qur’an , As-Sunnah ( sebagai sumber primer ) dan Ijtihad, yakni pemikiran manusia ( sebagai sumber sekunder ).

2. Macam-macam sumber ajaran Islam
Para ulama’, sepakat bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun sumber yang sekunder adalah pemikiran para ulama’, termasuk umaro’. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pertama dapat di pahami dari redaksi yang terdapat pada ayat tersebut, yaitu bahwa sebelum lafal Allah dan al-rasul di dahului oleh kata kerja perintah, athi’u yang berarti ta’ati atau patuhi. Adapun pada lafal ulil al-Amri tidak di dahului oleh kata kerja perintah athi’u. Ini menunjukan bahwa mentaati Allah dan Rasul hukumnya wajib, bahkan mutlak. Adapun taat kepada ulil amri tergantung pada keadaan. Jika kebijakan ulil amri ini sejalan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, maka wajib di patuhi, sedang jika kebijakanya tidak sesuai dan as-Sunnah, maka tidak wajib diikuti.
Penjelasan terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad sebagai sumber ajaran islam lebih lanjut dapat di kemukakan sebagai berikut:
A.   Al-Qur’an
Pengertian
Secara etimologis kata Al-Qur’an merupakan masdar ( lafadz yang menunjukan arti hadats tanpa disertai dengan zaman ) dari kata qa-ra-a, yang berarti bacaan dan apa yang tertulis padanya. Di tinjau dari segi terminologis, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama’. Manna al-Qaththan menyatakan bahwa Al-Qur’an  adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Sementara Al-Amidi mendefinisikan Al-Qur’an sebagai Kalam Allah, mengandung mukjizat, dan diturunkan kepada Rasulullah, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas                                     Definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab lebih terperinci lagi. Menurut khallaf, Al-Qur’an adalah firman Allah yang di turunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi rasul, bahwa ia benar-benar rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Naas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan secara terjaga dari perubahan dan pergantian.
               Dari pendapat para ulama’ tersebut dapat di simpulkan bahwa Al-Qur’an  memiliki beberapa ciri:
1.            Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.
2.            Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Hal ini ditunjukan oleh beberapa ayat Al-Qur’an, seperti: (QS. Al-Syu’ara[26]: 192-195), (QS. Yusuf[12]:2), (QS. Az-Zumar[39]:28), dan lain sebagainya.
3.            Al-Qur’an  itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir.
4.            Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an  itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan dari hafalan maupun membaca dari mushaf Al-Qur’an .
5.            Al-Qur’an di mulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
6.            Al-Qur’an sebagai Sumber Agama Islam
Bagian ini terdiri dari tiga bagian: pertama, fungsi Al-Qur’an; kedua, Al-Qur’an  sebagai firman Allah; dan ketiga, ‘ulum Al-Qur’an dan tafsir.
i.  Fungsi Al-Qur’an
    Al-Qur’an  merupakan kata turunan ( masdar ) dari kata qara’a (fi’il madhi ) dengan arti isim al maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya di baca ( Al-Qur’an dan terjemahanya ). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an  yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an  Dalam ayat tersebut, Allah berfirman:
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\75_18.pngDescription: G:\Khusus Data Kuliah UU\Semester 4\75_17.png
  
Artinya: “Sesungguhnya kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah[75]:17-18 ).
Kata Al-Qur’an selanjutnya digunakan untuk menunjukan kalam Allah yang di wahyukan kepada nabi Muhammad Saw. Sedangkan kalam Allah yang di turunkan kepada selain nabi Muhammad  tidak di namai  Al-Qur’an, melainkan mempunyai nama sendiri. Contohnya: taurat diturunkan kepada nabi Musa a.s, zabur kepada nabi Dawud a.s, dan injil kepada nabi Isa a.s.
Fath Ridwan menerangkan bahwa para ahli tafsir bersilang pendapat mengenai penamaan Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an  adalah nama ynag khusus( khas ) bagi firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Kedua, Al-Qur’an  di ambil dari kata qara’in ( petunjuk atau indikator ) karena ayatnya yang saling menguatkan dan saling membenarkan, dan Al-Qur’an  juga diambil dari kata al-qar’u yang berarti kumpulan ( al-jam’ ). Ketiga, sedangkan ulama’ yang lainya memberi nama lain bagi Al-Qurqn, seperti: al-Kitab, al-Nur, al-Rahman, al-Furqon, al-Syifa, al-Maui’zhah, al-Dzikr, al-Hukm, al-Qaul, al-Naba’, al-Azhim, Ahsan al Hadis, al-Matsany, al-Tanjil, al-Ruh, al-Bayan, al-Wahy wa al Bashir, al-Ilm, al-Haqq, al-Shidq, al-‘Adl, al-Amr, al-Basyary, dan al-Balag.
Nama-nama lain untuk Al-Qur’an dikembangkan oleh ulama’ sedemikian rupa, sehingga Abu Hasanal-Harali dan Abdal-Ma’al-syaizalah masing-masing memberi nama sebanyak 90 dan 55 macam. Namun pemberian nama yang terlalu banyak ini, di tentang oleh sebagian ulama’ antara lainn adalah Shubhi Shalih, karena dianggap terlalu berlebihan danterkesan adanya pencampradukan antara nama-nama Al-Qur’an  dan sifat-sifatnya.
Dari sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur’an . Dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Qur’an  sebagai tersurat dalam nama-namanya’ adalah sebagai berikut:
a.       Al-huda (petunjuk). Al-Qur’an  berfungsi sebagai petunjuk, petunjuk bagi manusia secara umum. Contohnya dalam firman Allah
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_185.png
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an  sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil ...”
(QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Dan Al-Qur’an juga sebagai petunjuk orang-orang yang bertawakal. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_2.png
Artinya: “Kitab Al-Qur’an  ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah[2]: 2). Al-Qur’an  sebaggai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa juga di jelaskan pada ayat yang lainnya juga, yaitu pada surat (Ali-Imran[3]: 138),surat (Al-Fushshilat[41]: 44),dan juga dalam surat (QS. Yunus[10]: 57).

b.      Al-Furqan (pemisah). Dalam Al-Qur’an  dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang bathil, atau antara yang benar dan yang salah. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_185.png
Artinya: “Al-Qur’an  sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil ...) “ (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

c.       Al-Syifa (obat). Dalam Al-Qur’an  juga di katakan bahwa Al-Qur’an  juga berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\Downloads\10_57.png
Artinya: “hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada ... “
(Q.S. Yunus[10]: 57)

d.      Al-Mau’izhah (nasihat). Al-Qur’an juga berfungsi sebagai nasihat orang yang bertakwa. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\Downloads\3_138.png
Artinya: “Al-Qur’an  ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran[3] :138)
Demikian fungsi Al-Qur’an yang di ambil dari nama-nama yang di firmankan Allah dalam Al-Qur’an .sedangkan fungsi Al-Qur’an  dari fungsi pengamalan dan penghayatan terhadap isinya tergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan.
ii.  Al-Qur’an Sebagai Firman Allah
Masih dangan pertimbangan nama-nama Al-Qur’an tadi, kita dapat menangkap kesamaan yang pada akhirnya ulama’ menyebutkan sebagai Hakikat Al-Qur’an. yaitu, bahwa Al-Qur’an  merupakan kalam Allah atau wahyu yang di turunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat jibril untuk di sampaikan kepada umatnya.
Sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan merupakan ciptaan atau pikiran nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan ciptaan atau hasil dari pemikiran nabi Muhammad. Tidak benar dan tidak dapat di pertanggungjawabkan.
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_23.pngPerbedaan sekitar otensitas Al-Qur’an  sebagai firman Allah telah terjadi ketika Al-Qur’an  di turunkan. Oleh karena itu, Allah menentang kepada penantang Al-Qur’an  untuk membuat satu surat yang sama dengan Al-Qur’an. Allah berfirman
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an  yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah[2]: 23).
Tantangan tersebut di sertai pula dengan ancaman berupa kepastian bahwa manusia tidak mampu menciptakan Al-Qur’an. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_24.png
Artinya: “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir “. (QS. Al-Baqarah[2]: 24)
Setelah perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang yang meragukan otentisitas Al-Qur’an  karena di anggap telah diintervesi oleh manusia, terutama umat islam generasi pertama yang kita kenal sebagai sahabat nabi Muhammad Saw. Allah telah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\15_9.png
Artinya: “Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”. (QS. Al-Hijr[15]: 9)
Demikianlah kedudukan Al-Qur’an  sebagai firman Allah. Berdasarkan substansinya, Al-Qur’an  bukan ciptaan nabi Muhammad, Ia di pelihara oleh Allah yang mewahyukanya.
iii.  ‘Ulum Al -Al-Qur’an Dan Tafsir
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an  tidak di turunkan secara langsung dari baitul izza ke bumi, akan tetapi di turunkan secara bertahap, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah di turunkan secara bertahap adalah agar memudahkan manusia dalam memahami konteks Al-Qur’an , dan memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Qur’an  itu tidak hampa sosial. Pewahyuan tergantung pada keadaan masyarakat saat itu, dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur’an  merupakan jawaban terhadap sebagian persoalan yang terjadi pada kehidupan manusia.
M. Quraish Shihab (1995:35-38) membagi proses pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi proses penurunan wahyu itu kepada tiga periode. Pertma, Periode ketika Nabi Muhammad SAW masih berstatus Nabi, yaitu dengan diterimanya wahyu pertama, Surat Al-Alaq. Status beliau lalu berubah menjadi rasul dengan tugas menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah beliau mendapat wahyu kedua (Q.S. Al-Muddatsir[74]: 1-2). Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini tergolong ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : Pertama, masalah pendidikan bagi Rasul Allah SAW dalam membentuk kepribadiannya (Q.S Al-Muddatsir[74]: 1-7), (Q.S. Al-Muzzamil[73]: 1-5), (Q.S. Al-Syu’ara[26]: 214-216); Kedua, Ajaran mengenai pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah (af’al Allah), seperti yang terlukis dalam surat Al-A’la dan surat Al-Ikhlash yang intinya memuat ajaran tauhid dan penyucian diri (tanzih) ; Ketiga, ajaran tentang dasar-dasar akhlak islamiah serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah. Periode ini berlangsung antara empat sampai lima tahun.
Kedua, Periode terjadinya pertarungan antara gerakan islam dan kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun. Ayat-ayat pada periode ini disebut ayat-ayat madaniyyah yang umumnya menerangkan masalah kemasyarakatan.
Masih menurut M. Kuraish Shihab (1996 ; 4), kosakata yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata dengan jumlah huruf sebanyak 323.015. dari jumlah kata dan huruf tersebut, menurut abd al-Rahman, al-Salami, al-Sayuti, dan al-Lusi yang dikutip oleh kafrawi Ridwan dkk,. Jumlah ayatnya secara berturut-turut adalah 6.326 ayat, 6.000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan jumlah ayat disebabkan oleh perbedaan pandangan mengetani masuk-tidaknya kalimat basmalaah dan fawatih al-suwar kepada bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumlah ayat-ayat tersebut selanjutnya dibagi kepada 554 ruku’ yaitu dengan cara menandainya denga huruf‘ain di bagian pinggir halaman Al-Qur’an. Ia pun selanjutnya dibagi kepada 30 juz dan 114 surat yang adal di dalam Al-Qur’an, dilihat dari panjang pendeknya, terjadi kepada empat kelompok yaitu sebagai berikut :
1.                  Al-sab’al-tiwal, yaitu tujuh surat yang panjang, terdiri dari surat Al-Baqarah, Ali’Imran, Al-Nisa, Al-A’raf, Al-An’am, Al-Maidah, dan surat Yunus.
2.                  Al-Mi’un, yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100 ayat lebih, seperti surat Hud, surat Yusuf, dan surat Mu’min.
3.                  Al-Matsani, yaitu surat-surat yang isinya kurang dari 100 ayat, seperti surat Al-Anfal dan surat Al-Hijr.
4.                  Al-Mufashal, yaitu surat-surat pendek, seperti Ad-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Naas, Al-Falaq, Al-Buruuj, Al-Kafirun, dan Al-Ma’un (Juz’Amma)
Adapun cara Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW adalah melalui beberapa cara berikut :
a.       Malaikat memasukan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad
b.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki.
c.       Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAWdalam rupanya yang asli
d.      Wahyu datang kepada Nabi Muhammad SAW seperti seperti gemerincingnya lonceng.




B.  Sunnah
i. Pengertian Sunnah
Kata sunnah (bentuk pluralnya, sunan) berakar dari huruf sin dan nun yang berarti “mengalirkan atau berlalunya sesuatu dengan mudah”. Secara etimologis ,sunnah berarti “jalan atau tata cara yang telah mentradisi”. Sehingga jika dikatakan berarti “seseorang mengikuti jalan yang ditempuh seseorang”. Sunnah juga berarti “praktek yang diikuti, arah, model perilaku, atau tindakan, ketentuan dan peraturan”.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa, kata sunnah telah dipakai oleh para penyair Arab pra islam dan masa islam juga untuk menunjuk arti “aturan atau cara yang dianut”, baik tata cara itu terpuji maupun tercela. Al- Hazaliy misalnya, menyatakan “Janganlah anda merasa risau terhadap tradisi yang anda jalani yang pertama kali puas terhadap suatu sunnah (tradisi) adalah orang yang menjalani tradisi itu sendiri”.
Sebagaimana telah disinggung bahwa sunnah merupakan tata cara atau praktek aktual yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga mentradisi, maka dapat dinyatakan bahwa sunnah merupakan hukum tingkah laku. Oleh karena tingkah laku yang dimaksudkan adala tingkah laku dari para pelaku yang sadar, yang dapat “memiliki” aksi-aksi mereka -meminjam istilah Fazlur Rahman, maka sebuah sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku sebagai mana yang terdapat dalam benda-beda alam, tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif. Artinya, “keharusan” adalah sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian sunnah.
Sunnah merupakan sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa sebuah sunnah memiliki dua unsur. Pertama, praktek aktual yang dilestarikan, kedua, unsur kenormatifannya. Sebuah sunnah memiliki unsur normatif ini dan setelah dipraktekkan secara aktual dalam periode tertentu unsur kenormatifannya menjadi bertambah.
Kata sunnah dalam Al-Qur’an digunakan untuk beberapa konteks, yang secara garis besar dapat digolongkan kepada dua hal, yakni yang berkenaan dengan ketetapan orang-orang terdahulu (sunnatul awwalin) dan ketetapan Allah (sunnatullah). Sunnah yang disebut pertama berarti 'kejadian yang menimpa mereka 'sedang sunnah yang disebut terakhir mengandung arti ketentuan Allah, cara-cara dan aturan yang berlaku bagi makhlukNya.
ii. Kedudukan Sunnah Dalam Islam
Sunnah adalah sumber asasi dan sumber hukum islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai sumber sesudah Al-Qur’an adalah disebabkan karena kedudukannya sebagai juru-tafsir, dan pedoman pelaksanaan yang otentik terhadap Al-Qur’an. Ia menafsirkan dan menjelaskan ketentuan yang masih dalam garis besar atau membatasi keumuman, atau menyusuli apa yang disebut oleh Al-Qur’an. Sebab itu dari satu segi sunnah merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri. Sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebut oleh Al-Qur’an. Tetapi segi lain, sunnah tidak berdiri sendiri, sebab sifat perikatannya terhadap Al-Qur’an. Selain karena kedudukannya sebagai penafsir dan pedoman pelaksanaan Al-Qur’an sehingga tidak bisa keluar aturan-aturan dasar umum yang ada dalam Al-Qur’an sampaipun dalam menetapkan hukum-hukum baru yang tidak disebut oleh Al-Qur’an. Jadi pada hakekatnya sumber sunnah itu sendiri ialah nas-nas Al-Qur’an dan aturan-aturan dasarnya yang umum.
Fungsi Sunnah sebagai sumber asasi Islam dan Hukum Islam yang kedua, ditetapkan sendiri oleh Al-Qur’an. Firman Allah s.w.t.
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\4_65.png
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisa[4]: 65)
Mayoritas kalangan ahli hadits (Jumhur) dalam pemakaian Sunnah adalah sama dengan hadits, sehingga mereka membuat klasifikasi berdasar cara pemberitaannya. Ada yang kwalitasnya membuahkan keyakinan, dan ada yang lainnya berkwalitas sangka-sangkaan saja.
Dalam prakteknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur’an dan suri teladan bagi umat Islam. Nabi SAW adalah penafsir Al-Qur’an dan islam berdasarkan yang dilakukannya.
Pengertian ini telah diketahui oleh ummul mukminin Siti Aisyah r.a. Berdasarkan ilmu fiqh yang dikuasainya dan pandangan hatinya yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah SAW, sehingga dapat mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan syarat makna. Pada saat ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW ,dia menjawab
“akhlaknya adalah Al-Qur’an”
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dengan teks, “Akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an”. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam Nasa-i telah meriwayatkan hadits itu sama seperti yang disebutkan dalam tafsir surat Nun (Tafsir Ibnu Katsir).
Barang siapa yang ingin mengetahui metode pengenalan Islam dengan semua kekhususannya serta rukunnya, seharusnya mengenal contoh-contoh yang diperagakan oleh sunnah nabawi melalui ucapan, perbuatan, dan ketetapannya secara terperinci. Metode-metode tersebut adalah :
1.      Metode yang menyeluruh
Metode ini mempunyai keistimewaan yang meliputi semua aspek kehidupan manusia dipandang dari segi vertikal,horizontal,dan kedalamannya. Maksud segi vertikal disini ialah cara pandang yang meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam semua aktifitasnya yang sejalan dengan petunjuk Nabi, baik dirumah, pasar, masjid, jalan, maupun dilingkungan pekerjaan. Selain itu mencakup juga hubungannya dengan Allah dan dengan manusia, seperti hubungannya dengan keluarga, sesama muslim dan non muslim, bahkan dengan seluruh umat manusia, hewan, dan benda mati.
Maksud segi horizontal ialah jarak masa yang dijalani oleh kehidupn manusia, dimulai dari kelahirannya sampai kematiannya, bahkan mencakup pula masa   kandungannya sampai kehidupan sesudah mati. Adapun maksud segi kedalamannya adalah pandangan yang menyorot diri manusia, meliputi jasad, akal, dan roh. Hal ini           berarti mencakup segi lahiriah dan batiniah manusia, seperti ucapan, perbuatan, dan niatnya.

2.      Metode perimbangan
Metode perimbangan adalah metode yang mempunyai keistimewaan menyelaraskan dan menyeimbangkan antara roh dan jasad, akal dan hati, dunia dan akhirat, idealisme dan kenyataan, teori dan praktek, alam gaib dan alam nyata, kebebasan dan tanggung jawab, individu dan masyarakat, serta antara ketaatan dan kepiawaian.
Pada garis besarnya, metode ini merupakan metode yang terbaik bagi umat yang terbaik. Oleh karena itu, apabila Nabi SAW, melihat sebagian sahabatnya cenderung mempunyai sikap berlebihan atau lalai, beliau akan mengembalikan mereka kepada jalan pertengahan dan mengingatkan mereka akan akibat buruk dari sikap berlebihan dan lalai tersebut.

3.      Metode praktis
Keistimewaan metode praktis, yaitu mudah, praktis dan toleran. Sifat Rasulullah SAW. Termaktub dalam kitab umat terdahulu, yaitu kitab Taurat dan kitab Injil. Dalam sunnah Nabi SAW tidak ditemukan hal-hal yang menyempitkan manusia atau menyempitkan urusan dunia mereka karena agamanya, bahkan Nabi SAW Mengungkapkan keberadaan dirinya dengan bersabda “Sesungguhnya, aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan.”
Beliau menakwilkan makna firman Allah SWT yang menyebutkan
Description: G:\Khusus Data Kuliah UU\Semester 4\21_107.png
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya[21]: 107)
Hadits diatas driwayatkan oleh Ibnu Sa'd, Imam Hakim, dan Imam Tirmidzi melalui Abu Shaleh secara mursal. Imam Hakim meriwayatkan hadits itu melalui Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara maushul. Hadits itu dinilai shahih dengan syarat Syaikhain, sebagai mana disetujui oleh Adz Dzahabi. Adapun Al Albani menilai hadits dalam komentarnya terhadap tulisan penulis yang berjudul Haram dan halal.
C. Ijtihad
Ijtihad adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran dan Hadits. Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw.  Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau sumber  hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur’an).”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga  berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan.
Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan beragama, Mujtahid merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah Muttabi’ dan Muqallid.
Muttabi’ artinya mengikuti fatwa atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling benar. Pekerjaan Muttabi’ disebut Ittiba’.
Muqallid artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan Muqalliddisebut Taklid. Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.
Para ulama Madzhab yang terkenal dan terbanyak pengikutnya di antara ulama-ulama lain, yakni Imam Abu Hanifah (699 H/767 M), Imam Malik (714 H/798 M), Imam Syafi’i (767 H/854 M), dan Imam Ahmad bin Hambal (780 H/855 M) yang dikenal dengan Madzahibul Arba’ah (Aliran Empat), melarang umat Islam bertaklid buta kepada mereka:
“Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui darimana sumber pendapat kami itu” (Abu Hanifah).
“Aku ini hanyalah seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah, dan segala yang tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah, tinggalkanlah!” (Imam Malik).
“Apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid kepadaku (La Tuqalliduni)!”
“Jangan kamu taklid kepadaku (La Tuqallid ni)! Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’i, dan jangan kepada Ats-Tsauri! Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!” (Ahmad bin Hambal).
i. Metode dalam pelaksanaan Ijtihad
·         Qiyas
Qiyas artinya mengukur atau mempersamakan, yakni memperbandingkan atau mempersamakan hukum suatu perkara dengan perkara lain berdasarkan persamaan ‘illah (sebab yang mendasari ketetapan hukum).
Misalnya, arak (khamr) diharamkan karena memabukkan (Q.S. 2:219) dan riba diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S. 2:275).
Maka, secara Qiyas, benda dan hal lain pun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga. Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum itu berputar menurut ‘illah-nya”.

·         Mashalih Mursalah.
Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar Islam.

·         Istinbath
Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya. Misalnya soal riba (pembayaran berlebih atas utang atau pinjaman yang disyaratkan pemberi pinjaman). Bunga pinjaman bank secara istinbath dibolehkan karena pinjaman yang diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak ada illat penganiayaan dalam bunga pinjaman itu karena pinjaman yang diberikan adalah bukan pinjaman-konsumtif, tetapi untuk modal usaha atau memperbesar modal perusahaan yang telah berjalan. Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam pinjaman itu.
Namun demikian, ada pula pendapat yang tetap mengharamkan bunga pinjaman-produktif karena tetap mengandung unsur penganiayaan --bank tidak mau tahu apakah usaha seseorang itu untung atau rugi.

·         Istihsan
Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk biaya pembangunan masjid.
Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan, orang yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan puasanya, tanpa penjelasan batal-tidaknya puasa orang tersebut.
Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau tanpa sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya.

·         Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:
 Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
 Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
 Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak membantahnya. Wallahu a'lam





BAB IV
KESIMPULAN
Secara garis besar sumber agama dan ajaran islam ialah pengembangan agama Islam. Agama Islam yang bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Sumber agama dan ajaran islam secara global mencangkup berbagai unsur unsur islam yang meliputi inti inti dalam islam. Hubungan agama Islam dengan Ilmu – ilmu keislaman yang menjelaskan atau mengembangkan agama Islam menjadi ajaran Islam. sumber agam dan ajaran islam itu sangat penting untuk di pahami lebih dalam lagi, di kaji lebih luas lagi sehingga tidak ada keranguan dalam melaksanakan ajaran islam. dalm islam banyak hal hal yang mudah tapi kadang kita sering menggampangkan sehingga tidak valid dalam pembahasan, pengucapan, atau pelaksanaannya. maka dari itu dengan kita selalu menyimak dan memahami tentang sumber agama dan ajaran islam kita bisa lebih mudah dan mengerti tanpa kebimbangan.














BAB V
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan. Harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan pengetahuan tentang berbagai hal mengenai sumber-sumber ajaran islam. Kami menyadari akan adanya kekurangan dalam hal penyajian, penjelasan, maupun buku acuan yang kami gunakan. Oleh sebab itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya. Terimakasih atas perhatian pembaca. Semoga makalah kami bermanfaat, Aamiin.




















DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Drs. Atang Abd. MA. , Mubarok, DR. Jaih. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
HAM, Mushadi . 2000. Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV Aneka Ilmu
Nata, Abiddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana
Naim, Ngainun . 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras
Perwardaminta, W.S.J. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Qardhawi, Dr. Yusuf . 1995. Studi Kritis As Sunnah. Bandung: Trigenda karya
Razak, Drs. Nasruddin . 1984. Dienul Islam. Bandung: PT. Alma'arif
Ibid, hlm. 108
Ibid, hlm. 110.
H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985, hlm. 21-29.
http://inilahrisalahislam.blogspot.com/2013/01/sumber-ajaran-islam-3-ijtihad.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar