Anjar Syaefa

Selasa, 25 Maret 2014

Metode Sampling

Assalammu'alaikum wr.wb
Saya akan menjelaskan sedikit tentang Metode Sampling

PENGERTIAN SAMPLING
Sampling adalah proses dan cara mengambil sampel/ contoh untuk menduga keadaan suatu populasi.  Contoh serangga diambil dari suatu area untuk diduga berbagai karakteristik populasinya seperti kepadatan populasi,  sebarannya dalam habitat, jumlah relatif masing-masing stadia, dan fluktuasi jumlah serangga menurut waktu.  Penarikan contoh diperlukan karena tidak mungkin pengamatan terhadap keseluruhan populasi dilakukan.
Sampling serangga di penyimpanan diperlukan bagi praktisi pengendalian hama pascapanen untuk memonitor keberadaan serangga hama pascapanen dalam hal
·            Spesies apa yang ditemukan, sehingga dapat ditentukan arti pentingnya berdasar informasi sebelumnya tentang status hama. 
·            Berapa jumlah masing-masing serangga, berguna untuk menentukan saat intervensi pengendalian
Monitoring serangga adalah elemen kunci dalam PHT hama pascapanen.  Umumnya, sampling hama pascapanen tidak dilakukan tersendiri tetapi merupakan bagian dari sampling mutu bahan simpan secara umum.



KONSEP SAMPLING
Sampling dapat dilakukan sebelum atau setelah tindakan pengendalian hama pascapanen.  Tujuan sampling hama pascapanen sebenarnya adalah untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk intervensi tindakan dan untuk menentukan apakah intervensi pengendalian telah efektif menekan populasi serangga.  Tujuan ini menentukan area sampling, peralatan sampling, cara mengumpulkan data dan bagaimana data dianalisis.  Hal pertama yang harus diketahui adalah konsep sampling. 

    Unit contoh/sampel
                Unit contoh adalah fraksi dari area yang dihuni suatu populasi serangga sasaran, yang disebut universe.  Contohnya, bila sampling terhadap permukaan stapel beras di gudang menggunakan colokan (spear), maka unit contoh adalah kuantitas beras dalam colokan sedangkan permukaan stapel beras adalah universe.  Bila menggunakan perangkap, unit contoh sebenarnya adalah area efektif perangkap dan durasi pemerangkapannya.  Namun area efektif suatu perangkap sulit diukur, sehingga untuk praktisnya, unit contoh adalah perangkap.    
   
    Ukuran unit contoh
                Ukuran unit contoh ditentukan oleh peralatan yang digunakan, misalnya volume setiap unit contoh beras tergantung ukuran spear yang digunakan.  Ukuran unit contoh harus tepat.  Meskipun ukuran unit contoh yang besar dapat mengurangi jumlah titik sampel yang diperlukan, hal ini biasanya butuh waktu dan biaya penanganan lebih besar.  Unit contoh yang kecil dengan jumlah titik sampel yang banyak lebih efisien dan lebih representatif, namun perlu dijaga supaya ukuran unit contoh cukup besar sehingga masih dapat menangkap serangga dalam kepadatan populasi yang rendah. 
                Saat ini telah dikembangkan standar ukuran unit contoh untuk tiap bahan simpan.  Biasanya disyaratkan 500-1000 biji untuk diamati per unit contoh.  Jumlah tersebut setara dengan berat biji tertentu seperti tersaji di bawah ini
Biji jagung (ukuran kecil)
200 g
Biji jagung (ukuran besar)
250 g
Biji sorghum
25 g
Kacang polong (cowpea)
150 g
Butir gandum
25 g
Butir millet
10 g
Butir padi
15 g

    Teknik sampling    
Teknik sampling adalah metode yang meliputi pemilihan unit contoh yang tepat a serta proses penarikan contoh.  Unit contoh apa yang akan dipakai disesuaikan dengan sifat bioekologi serangga.  Misalnya, unit contoh berupa perangkap berumpan hanya tepat untuk sampling serangga yang tertarik umpan tersebut.  Proses penarikan contoh bisa bisa dilakukan secara random atau sistematik (non ramdom). Pada proses random, pemilihan titik contoh berdasarkan tabel angka acak.  Sebaliknya, titik contoh pada sampling sistematik mengikuti aturan tertentu, misalnya jarak yang sama antar titik contoh, posisi pengambilan sampel yang sama untuk bahan simpan yang sedang bergerak dan lain-lain. 

    Statistik Dasar
Hampir semua hipotesis statistik berdasar pada asumsi bahwa sampel data terdistribusi normal.  Sebaran data jumlah serangga per unit contoh, lama perkembangan hidup serangga, jumlah serangga yang mati setelah fumigasi dan sebagainya apabila diplotkan akan menghasilkan kurva yang berbentuk seperti genta, terutama bila unit contoh cukup besar (>30). 
Apabila data pengamatan dalam suatu unit contoh dihitung/diukur dan dilambangkan dengan x, maka rata-rata atau mean data per unit contoh Description: http://abank-udha123.tripod.com/sampling_dan_monitoring_files/image002.gif adalah:
                

Varian (s2) adalah jumlah kuadrat dari selisih data unit contoh (xi) dan mean, sehingga rumus sederhananya adalah
               

dengan n-1 derajat bebas. 
Akar kuadrat dari varian (Ös2=s) disebut deviasi standar sampel dan menunjukkan seberapa dekat mean hasil perhitungan sampling terhadap mean populasi sebenarnya.

    Program sampling
Semua pengetahuan terdahulu tentang sampling biasanya menghasilkan program sampling.  Program sampling menunjukkan unit contoh apa yang digunakan, berapa banyaknya titik contoh, kapan dilakukan sampling, bagaimana distribusi spasial (dispersi serangga), analisis statistik apa yang digunakan dan sebagainya.  Program sampling sangat berguna untuk menentukan apakah pada saat tertentu perlu atau tidak dilakukan intervensi pengendalian.  Program sampling yang dilaksanakan dengan baik akan menjadi salah satu kunci pengendalian hama pascapanen di penyimpanan.



PENDUGAAN KEPADATAN POPULASI SERANGGA
Secara garis besar terdapat dua teknik pendugaan kepadatan populasi serangga di penyimpanan, yaitu pendugaan kepadatan absolut dan pendugaan kepadatan relatif.  Selain itu, kepadatan populasi juga dapat diduga dengan mengukur tingkat kerusakannya.

    Pendugaan Kepadatan Absolut
Pendugaan kepadatan absolut berdasar pada jumlah absolut serangga yang ikut tertangkap dalam contoh bahan simpan yang diambil.  Alat sampling yang digunakan antara lain berupa spear untuk bahan simpan dalam kemasan/karung, pneumatic sampler untuk bahan simpan curahan dan pelican sampler untuk bahan simpan curahan yang sedang bergerak. 
Pendugaan kepadatan absolut juga dapat dilakukan secara tidak langsung dengan teknik penangkapan kembali serangga yang ditandai secara radioaktif atau fluoresen.  Dengan melepaskan sejumlah tertentu serangga yang telah ditandai, kepadatan populasi dapat dihitung menurut rumus:
                
dengan melambangkan kepadatan populasi, m adalah jumlah serangga ditandai yang dilepaskan, n adalah jumlah total serangga yang tertangkap dan r adalah jumlah serangga ditandai yang ikut tertangkap. Teknik lain menggunakan alat ayakan/saringan dan corong Berlese. 

    Pendugaan Kepadatan Relatif
Berbeda dengan pendugaan kepadatan populasi absolut, pendugaan kepadatan relatif menggunakan perangkap yang tidak bisa memberikan data jumlah serangga per satuan berat bahan simpan, luas area sampling dsb.  Pendugaan ini lebih tergantung pada keefektifan alat, misalnya data dari perangkap berperekat tidak bisa dibandingkan dengan pitfall trap.  Perangkap berumpan akan berbeda hasilnya dengan perangkap berferomon.  Perangkap sebenarnya adalah alat yang efektif untuk deteksi dan monitoring serangga pascapanen, namun data hasil pendugaan kepadatan relatif harus dapat dikonversi menjadi data kepadatan absolut dengan pendekatan regresi yang tepat.    Pendugaan kepadatan relatif memang lebih mudah dilakukan, tapi tanpa adanya korelasi dengan data kepadatan absolut, data yang diperoleh tidak berarti apa-apa bagi pengendalian.

    Pendugaan berdasar Tingkat Kerusakan yang Teramati
Selain pendugaan kepadatan populasi absolut dan relatif, kepadatan populasi serangga juga dapat diperkirakan dari tingkat kerusakan yang dapat diamati pada bahan simpan.  Banyaknya biji yang terserang, jejak serangga pada tepung simpanan, dan keberadaan sutera yang dihasilkan larva ngengat dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan populasi serangga pascapanen yang menyebabkannya. 
Adakalanya universe suatu sampling sangat besar sehingga diperlukan waktu yang lama dan biaya tinggi.  Dalam kondisi seperti ini, pekerjaan sampling menjadi tidak praktis sehingga diperlukan teknik sampling alternatif yang lebih ekonomis namun masih dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.  Sejumlah teknik alternatif itu diantaranya adalah:
·          Sampling berjenjang (Hierachial sampling), unit contoh dibagi menjadi sub-sub unit contoh dan satu sub unit contoh dipilih untuk mewakili setiap unit contoh.  
·          Sampling berganda (Double sampling), dilakukan sampling pendahuluan sebelum dilakukan sampling yang sebenarnya.
·          Sampling dengan intensitas berubah-ubah (Variable-intensity sampling), sampling dilakukan lebih intensif bila hasilnya (misalnya rata-rata jumlah serangga) mendekati nilai kritis. 



METODE PENDUGAAN BINOMIAL
                Seringkali keberhasilan suatu pengendalian diawali dengan hanya mengetahui ada atau tidaknya hama pascapanen sedini mungkin.  Pendugaan yang hanya mendasarkan pada ada tidaknya serangga pada unit contoh disebut pendugaan binomial. Unit contoh yang mengandung serangga diberi skor 1 sedangkan yang tidak ada serangganya diberi skor 0.  Pengolahan data skoring ini yang digunakan untuk menentukan urgensi intervensi pengendalian. 
Seringkali pendugaan binomial lebih baik hasilnya bila menggunakan teknik ambang jumlah serangga per unit contoh daripada hanya sekedar pengamatan ada atau tidaknya serangga.  Misalnya dari 30 unit contoh, suatu unit contoh dapat dinyatakan sebagai jumlah serangga kurang dari 5 ekor, kemudian unit contoh kedua jumlah serangga lebih dari lima ekor, begitu seterusnya.  Berarti 5 ekor adalah ambang jumlah serangga.  Penentuan ambang jumlah serangga tergantung status serangga sebagai hama dan tindakan pengendalian yang dilakukan.  Sebagai contoh ekstrim, Karantina Indonesia menentukan ambang satu ekor kumbang kapra per kapal beras yang diimpor sebagai penentu keputusan diterima atau ditolaknya beras tersebut masuk Indonesia.  Ambang juga dapat dibuat beberapa jenjang sehingga membentuk kategori, misalnya kategori I kurang dari 5 ekor, kategori II antara 5 sampai dengan 10 ekor, kategori III antara 10 sampai dengan 15 ekor dan seterusnya disesuaikan dengan implikasi tindakan yang akan diambil. 
Berikut ini adalah contoh metode yang dapat digunakan untuk pendugaan binomial yang meliputi metode deteksi infestasi hama pascapanen secara visual, deteksi hidden infestation dan deteksi lingkungan sekitar gudang.

    Pengamatan Visual
Pengamatan visual sederhana kadang-kadang memenuhi keperluan deteksi serangga.  Dinding gudang biasanya bercat putih, salah satu maksudnya adalah memudahkan deteksi hama yang secara kebetulan hinggap.  Pada gudang curah, ngengat biasanya tidak dapat menembus terlalu dalam sehingga pengamatan cukup dengan menyingkap bahan simpan di dekat permukaan.  Biasanya hama cenderung bergerombol, sehingga keberadaan sisa-sisa metabolisme hama berupa bubuk, feses atau benang sutera juga menjadi petunjuk lokasi keberadaan hama di penyimpanan.  Pada gudang sistem tumpuk, deteksi hama pascapanen dapat dilakukan dengan bantuan colokan/spear/probe.  Cara lain bisa menggunakan ayakan kawat karena biasanya ukuran serangga lebih kecil dari ukuran biji. 

Penggunaan perangkap dapat mempermudah deteksi hama pascapanen secara visual.  Ada beragam jenis perangkap, secara umum terbagi menjadi
·            Flight trap, serangga tertarik dan terbang ke arahnya.
·            Refuge trap, serangga datang untuk berlindung
·            Pitfall trap, serangga jatuh ke dalamnya.
Efisiensi perangkap dapat ditingkatkan dengan penggunaan umpan berupa makanan maupun zat atraktan.  Perangkap seperti ini dapat digunakan memonitor populasi hama bahkan dalam tingkat kepadatan rendah.

    Deteksi Infestor Internal (Hidden Infestation)
Deteksi infestor internal seperti Sitophilus, Rhyzopertha, dan Sitotroga sulit dilakukan dengan pengamatan visual terutama bila populasinya kecil karena kebiasaan hidupnya yang berada didalam biji.  Oleh karena itu dikembangkan berbagai metode deteksi khusus untuk hidden infestation:
·            Teknik pewarnaan/staining, berbagai stadia Sitophilus baik di dalam maupun di luar biji dapat diwarnai dengan beberapa pewarna biologis seperti acid fuchsin (warna merah) atau gentian violet(warna ungu).  Bila biji berwarna gelap, misalnya beberapa jenis sorgum, dapat digunakan pewarna berberin suflate yang akan berpendar bila diamati di bawah sinar UV.  Sayangnya teknik ini hanya bisa untuk deteksi Sitophilus dan tidak bisa digunakan untuk Rhyzopertha dan Sitotroga
·            Metode pengapungan, biji gandum terserang akan terapung karena adanya rongga.  Namun bila hama masih dalam stadia telur, metode ini tidak bisa digunakan.  Metode ini tidak cocok untuk biji yang telah dikupas kulitnya seperti padi atau biji berukuran besar seperti jagung.   Metode lain yang masih termasuk pengapungan adalah dengan menghancurkan biji, kemudian fragmen serangga yang ikut hancur diberi perlakukan sehingga terapung dan disaring dengan kertas isap untuk diamati di bawah mikroskop. 
·            Pemeriksaan radiografi (sinar X), membutuhkan investasi untuk peralatan, kamar gelap, film. Bahan kimia, dan interpreter terlatih.  Metode ini kemungkinan bisa dikembangkan ke arah scanning komputer.  
·            Deteksi suara, dengan sebuah oscilloscope suara makan dan pergerakan dapat dideteksi.  Suara Sitophilus, Rhyzopertha, dan Sitotroga di dalam biji dapat dideteksi 13-19 hari setelah oviposisi oleh induknya. 
·            Pengukuran kadar karbondioksida, dilakukan dengan analisis sinar inframerah terhadap produksi CO2 akibat respirasi serangga dibandingkan dengan bahan simpan standar.  
·            Kertas ninhidrin, contoh biji dihancurkan dalam gulungan kertas yang diberi perlakuan ninhidrin.  Asam amino dari cairan serangga akan bereaksi dengan ninhidrin menghasilkan bercak-bercak berwarna ungu. 
·            ELISA (enzym-linked immunosorbent assay), yaitu dengan memanfaatkan antibodi yang khusus diproduksi untuk mendeteksi myosin, protein otot serangga yang tidak ditemukan pada biji-bijian.  Tingkat kepekatan senyawa myosin-antobodi dapat digunakan untuk menduga banyaknya serangga pada contoh biji.  ELISA dapat juga dikembangkan untuk antibodi yang spesifik bagi spesies tertentu.
·            Metode lain yang dikembangkan untuk hiden infestation antara lain metode NMR (nuclear magnetic resonance) dan asam urat.
Deteksi hiden infestation serangga hidup sangat penting untuk penentuan langkah pengendalian.  Lebih dari itu, deteksi untuk serangga mati pun tak kalah pentingnya karena alasan penerimaan produk oleh pasar.

    Deteksi Hama di Lingkungan Gudang
Mengingat ada kemungkinan masuknya hama dari lingkungan sekitar gudang ke bahan simpan, deteksi lingkungan juga diperlukan sebagai bagian dari usaha pengendalian hama pascapanen.  Umumnya dilakukan menggunakan perangkap berumpan, baik umpan makanan maupun zat atraktan. 

  
DISTRIBUSI SPASIAL (POLA DISPERSI) HAMA
Pengetahuan tentang distribusi spasial/pola dispersi hama pascapanen sering kali penting artinya dalam pilihan pengendalian yang dilakukan.  Sebagai contoh, apabila diketahui populasi hama pascapanen cenderung bergerombol di sekitar permukaan bahan simpan, maka pengendalian dengan iradiasi permukaan bahan simpan dapat lebih efektif. 
Pola dispersi hama dapat dikategorikan menjadi seragam, random, atau bergerombol.  Pola dispersi ini sebagian besar disebabkan oleh perilaku serangga yang berhubungan dengan perubahan lingkungan. 
Pola dispersi hama dapat ditentukan dengan mengetahui variasi jumlah serangga antar unit contoh dari sampling yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kepadatan populasi.  Nilai perbandingan antara meansDescription: http://abank-udha123.tripod.com/sampling_dan_monitoring_files/image002.gifdan varian (s2) menunjukkan distribusi spasial serangga apakah terkategori seragam, ramdom atau bergerombol.
Pada populasi yang terdistribusi seragam, terdapat semacam penolakan individu terhadap individu lain.  Populasi seperti ini dicirikan dengan selisih yang kecil antara unit-unit contoh dengan rata-ratanya, dengan kata lain varian lebih kecil dibanding mean (s2<).  Populasi random dicirikan dengan varian yang sama dengan mean-nya (s2=).  Pada pola ini, keberadaan satu individu serangga tidak mempengaruhi keberadaan individu yang lainnya, baik individu itu menyingkir sehingga terbentuk pola seragam atau tertarik sehingga terbentuk pola bergerombol.  Apabila varian lebih besar daripada mean(s2>) atau sebagian besar unit contoh hanya berisi nol atau sedikit serangga sedangkan beberapa unit contoh berisi banyak, maka dapat dipastikan bahwa serangga terdispersi secara bergerombol.  Hama pascapanen umumnya bergerombol di beberapa titik, khususnya pada kepadatan populasi yang sedang hingga tinggi. 
Salah satu cara untuk menentukan pola dispersi serangga adalah menggunakan nisbah varian terhadap mean suatu sampling yang sebenarnya menentukan apakah populasi bersifat random atau tidak .  Seperti diisyaratkan sebelumnya, nisbah varian terhadap mean kurang dari satu berarti populasi seragam, sama dengan satu berarti random dan lebih dari satu berarti bergerombol.  Untuk menentukan apakah suatu nilai nisbah varian/mean tidak berbeda nyata dengan 1, >1 atau <1 digunakan="" disperse="" i="" indeks="">ID
) yang diformulasikan:
                
di mana adalah jumlah unit contoh, s2 dan  berturut-turut adalah varian dan mean.  ID terdistribusi menurut sebaran khi-kuadrat () dengan n-1 derajat bebas.  Nilai ID hitung berada pada selang kepercayaan yang dipilih (misalnya 90%) menunjukkan pola dispersi random.  ID kurang dari batas bawah selang kepercayaan berarti nisbah varian/mean kurang dari satu (seragam) dan ID lebih dari batas atas selang kepercayaan berarti nisbah varian/mean lebih dari satu (bergerombol).  
  
SAMPLING SEKUENSIAL
Setelah data sampling tentang keberadaan spesies hama pascapanen, tingkat kepadatan populasi serangga, pola distribusi spasial dan lain-lain terkumpul cukup banyak dan dalam waktu yang cukup lama, biasanya akan dapat disusun suatu acuan untuk melakukan sampling sekuensial, yaitu sampling yang dirancang khusus untuk penentuan tindakan pengendalian.  Seorang praktisi pengendalian hama pascapanen akan selalu dihadapkan pada keputusan apakah akan melakukan intervensi pengendalian atau tidak   Pada saat yang sama, ia akan berhadapan dengan dua resiko kesalahan yaitu inefisiensi tindakan pengendalian karena sebenarnya populasi hama belum membahayakan dan resiko kehilangan hasil simpanan bila hama pascapanen tidak dikendalikan.  Sampling sekuensial dirancang untuk meminimalkan dua resiko tersebut.
Pada sampling sekuensial, jumlah kumulatif unit contoh dan jumlah kumulatif hasil sampling (bisa berupa jumlah serangga dari pendugaan kepadatan populasi atau jumlah unit contoh yang mengandung serangga dari sampling binomial) diplotkan dalam grafik seperti di bawah ini. 
         
Prinsipnya adalah mengamati lebih banyak unit contoh bila populasi mendekati ambang pengendalian dan sebaliknya.  Pengamatan terus dilakukan hingga hasil sampling menyentuh salah satu dari dua garis sejajar yang ada di tengah grafik.  Garis yang di atas adalah garis ambang tindakan, menunjukkan tingkat populasi hama pascapanen sudah berarti secara ekonomis dan tindakan pengendalian perlu dilakukan.  Garis di bawahnya ditentukan secara arbitrer untuk berjaga-jaga, biasanya ditentukan sekian persen dari ambang tindakan.  Apabila hasil sampling menyentuh garis yang di atas, intervensi pengendalian sudah saatnya dilakukan.  Apabila hasil sampling menyentuh garis bagian bawah, pengendalian tidak perlu dilakukan.  Kemungkinan ketiga adalah hasil sampling tetap berada di antara dua garis ini, dalam hal ini sampling dilanjutkan sampai unit contoh tertentu, misalnya 100 unit contoh.  Apabila tetap tidak menyentuh garis yang di atas (garis ambang tindakan), maka pengendalian tidak perlu dilakukan.
Manfaat utama sampling sekuensial adalah efisiensi biaya sampling dan ketepatan pengendalian hama pascapanen.  Sampling sekuensial telah banyak diterapkan untuk hama-hama di pertanaman, sayangnya penggunaannya di penyimpanan masih terbatas.


CONTOH PENERAPAN MONITORING
  TINGKAT SERANGAN HAMA DI GUDANG BULOG
Serangga utama yang biasanya menyerang bahan-bahan pangan di dalam gudang adalah kumbang (Ordo Coleoptera) dan ngengat/kupu (Ordo Lepidoptera). Kumbang mudah dilihat dan dihitung pada stadium dewasa sedang ngengat pada stadium larva dan dewasa.
Pengamatan yang dilakukan disini didasarkan pada pengamatan binomial, yaitu pengamatan untuk mengetahui ada tidaknya serangga tanpa perlu mengetahui tingkat kepadatan populasi serangga yang sebenarnya.  Sejumlah modifikasi dilakukan untuk optimalisasi hasil monitoring.


PENGAMATAN UMUM ( U).
Pengamatan dilakukan terhadap kondisi keliling stapel dan bagian atas stapel, serta pengamatan dilakukan pada sore hari. Hasil pengamatan dinyatakan sebagai berikut :
a.        U/T (tidak ada) :Tidak terdapat serangga setelah diperiksa beberapa lama.
b.        U/R (Ringan) Terdapat serangga (dalam jumlah kecil) yang terlihat hanya pada beberapa tempat (permukaan karung).
c.        U/S (sedang) :Terdapat serangga (dalam jumlah lebih banyak) yang terlihat pada pelbagai tempat (permukaan karung).
d.        U/B (Berat) Serangga segera terlihat dalam jumlah besar, beterbangan dan bergerak merayap sekitar stapel. Serangga bergerombol dilantai sekeliling dasar stapel dan dibagian atas stapel.
e.        U/SB (Sangat berat) :Serangga sangat banyak terdapat pada sekitar stapel dan suaranya gemelutuk jelas terdengar dari dalam karung. Serangga mati banyak terdapat pada lantai sekitar stapel dan bagian atas stapel.
Pada pengamatan umum (U) untuk serangga ngengat, disamping batasan-batasan di atas, penentuan kriteria tingkat serangan hama dapat juga memakai batasan tingkat kerusakan yang teramatisebagai berikut :
a.          U/T (Tidak ada) : Tidak terdapat tanda-tanda serangan larva ngengat (butir-butir putih/sisa kotoran) yang terdapat pada bagian luar karung.
b.          U/R (Ringan) : Mulai terlihat butir-butir putih/sisa kotoran dalam jumlah kecil pada bagian luar karung.
c.          U/S (Sedang) : Terlihat cukup banyak butir-butir putih/sisa kotoran pada bagian luar karung.
d.          U/B (Berat) : Terlihat banyak butir-butir putih/sisa kotran pada bagian luar karung.
e.          U/SB (Sangat Berat) : Terlihat banyak butir-butir putih/sisa kotoran pada bagian luar karung sehingga banyak tertimbun diatas lantai.



PENGAMATAN CONTOH (C).
Pengamatan dilakukan dengan mengambil contoh beras dari beberapa karung dipelbagai tempat dalam stapel. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan alat pengambil contoh beras dan ditimbang sebesar 1 kilogram. Setelah di ayak kemudian dihitung jumlah serangga yang terdapat didalam contoh. Hasil pengamatan dinyatakan sebagai berikut :
a.        C/T (tidak ada) : Tidak terdapat serangga hidup dari hasil pengayakan.
b.        C/R (Ringan) : Terdapat 1-2 ekor serangga hidup dalam contoh.
c.        C/S (Sedang) : Terdapat 3-5 ekor serangga hidup dalam contoh.
d.        C/B (Berat) : Terdapat 6-10 ekor serangga hidup dalam contoh.
e.        C/SB (Sangat berat) : Terdapat > 10 ekor serangga hidup dalam contoh.


 Cara Pengambilan contoh
                Pengambilan contoh harus dilakukan pada waktu pagi hari sampai kira-kira pukul 13.00.  Hama pascapanen pada pagi sampai siang hari berada di dalam karung, baru sesudah kira-kira pukul 14.00 mereka keluar dari dalam karung.  Pengambilan contoh dengan menggunakan colokan (spear) dilakukan sewaktu hama masih di dalam karung.
                Besarnya contoh yang harus diambil menggunakan teknik tertentu sehingga ekonomis, sebagai berikut.
1.        Penentuan karung yang diambil contohnya dilakukan secara random
2.        Dari setiap gudang minimal harus diambil 2 contoh @ 1 kg
3.        Nilai tingkat serangan hama adalah hasil rata-rata dari contoh-contoh (sebesar 1 kg) tersebut.

Sekian dari saya Wa'alaikumsalam wr.wb

#Sumber: http://abank-udha123.tripod.com/sampling_dan_monitoring.htm

Selasa, 18 Maret 2014

Macam-macam sumber ajaran Islam

BAB III
PEMBAHASAN
1.  Pengertian Sumber Ajaran Islam
Sumber dapat diartikan sebagai tempat yang darinya dapat di peroleh  bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sesuatu. Hutan misalnya, sebagai sumber bahan untuk keperluan bangunan dan alat-alat rumah tangga, seperti kayu, bambu, dan rotan. Selanjutnya, gunung, dapat menjadi sumber bahan bangunan dan tambang, seperti pasir, kapur, emas, perak, dan tembaga. Demikian juga laut dapat menjadi sumber bahan makanan, mutiara, bahan bangunan, seperti pasir, dan karang.
Dalam bahasa indonesia, sumber diartikan mata air, perigi, misalnya mengambil air disumber, dan berarti pula asal ( dalam berbagai arti ), misalnya kabar dari sumber yang dapat di percaya, dan sekalian kutipan harus disebutkan sumbernya. Dalam bahasa arab, sumber di sebut masdar yang jamaknya masdir, yang dapat diartikan starting point ( titik tolak ), poin of origin ( sumber asli ), origin ( asli ), infinitive ( tidak terbatas ), verbal nounce ( kalimat kata kerja ), dan absolute or internal object ( mutlak atau tujuan yang bersifat internal ).
Islam sebagai bangunan atau kontruksi yang didalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan sebagainya membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan guna mengkontruksi ajaran islam tersebut.
Dengan mengacu kepada firman Allah,
Description: G:\Khusus Data Kuliah UU\Semester 4\4_59.png
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an ) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa’:59)
Dapat diketahui bahwa sumber ajaran islam ada tiga, yaitu Al-Qur’an , As-Sunnah ( sebagai sumber primer ) dan Ijtihad, yakni pemikiran manusia ( sebagai sumber sekunder ).

2. Macam-macam sumber ajaran Islam
Para ulama’, sepakat bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun sumber yang sekunder adalah pemikiran para ulama’, termasuk umaro’. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pertama dapat di pahami dari redaksi yang terdapat pada ayat tersebut, yaitu bahwa sebelum lafal Allah dan al-rasul di dahului oleh kata kerja perintah, athi’u yang berarti ta’ati atau patuhi. Adapun pada lafal ulil al-Amri tidak di dahului oleh kata kerja perintah athi’u. Ini menunjukan bahwa mentaati Allah dan Rasul hukumnya wajib, bahkan mutlak. Adapun taat kepada ulil amri tergantung pada keadaan. Jika kebijakan ulil amri ini sejalan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, maka wajib di patuhi, sedang jika kebijakanya tidak sesuai dan as-Sunnah, maka tidak wajib diikuti.
Penjelasan terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad sebagai sumber ajaran islam lebih lanjut dapat di kemukakan sebagai berikut:
A.   Al-Qur’an
Pengertian
Secara etimologis kata Al-Qur’an merupakan masdar ( lafadz yang menunjukan arti hadats tanpa disertai dengan zaman ) dari kata qa-ra-a, yang berarti bacaan dan apa yang tertulis padanya. Di tinjau dari segi terminologis, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama’. Manna al-Qaththan menyatakan bahwa Al-Qur’an  adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Sementara Al-Amidi mendefinisikan Al-Qur’an sebagai Kalam Allah, mengandung mukjizat, dan diturunkan kepada Rasulullah, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas                                     Definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab lebih terperinci lagi. Menurut khallaf, Al-Qur’an adalah firman Allah yang di turunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi rasul, bahwa ia benar-benar rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Naas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan secara terjaga dari perubahan dan pergantian.
               Dari pendapat para ulama’ tersebut dapat di simpulkan bahwa Al-Qur’an  memiliki beberapa ciri:
1.            Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.
2.            Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Hal ini ditunjukan oleh beberapa ayat Al-Qur’an, seperti: (QS. Al-Syu’ara[26]: 192-195), (QS. Yusuf[12]:2), (QS. Az-Zumar[39]:28), dan lain sebagainya.
3.            Al-Qur’an  itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir.
4.            Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an  itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan dari hafalan maupun membaca dari mushaf Al-Qur’an .
5.            Al-Qur’an di mulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
6.            Al-Qur’an sebagai Sumber Agama Islam
Bagian ini terdiri dari tiga bagian: pertama, fungsi Al-Qur’an; kedua, Al-Qur’an  sebagai firman Allah; dan ketiga, ‘ulum Al-Qur’an dan tafsir.
i.  Fungsi Al-Qur’an
    Al-Qur’an  merupakan kata turunan ( masdar ) dari kata qara’a (fi’il madhi ) dengan arti isim al maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya di baca ( Al-Qur’an dan terjemahanya ). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an  yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an  Dalam ayat tersebut, Allah berfirman:
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\75_18.pngDescription: G:\Khusus Data Kuliah UU\Semester 4\75_17.png
  
Artinya: “Sesungguhnya kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah[75]:17-18 ).
Kata Al-Qur’an selanjutnya digunakan untuk menunjukan kalam Allah yang di wahyukan kepada nabi Muhammad Saw. Sedangkan kalam Allah yang di turunkan kepada selain nabi Muhammad  tidak di namai  Al-Qur’an, melainkan mempunyai nama sendiri. Contohnya: taurat diturunkan kepada nabi Musa a.s, zabur kepada nabi Dawud a.s, dan injil kepada nabi Isa a.s.
Fath Ridwan menerangkan bahwa para ahli tafsir bersilang pendapat mengenai penamaan Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an  adalah nama ynag khusus( khas ) bagi firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Kedua, Al-Qur’an  di ambil dari kata qara’in ( petunjuk atau indikator ) karena ayatnya yang saling menguatkan dan saling membenarkan, dan Al-Qur’an  juga diambil dari kata al-qar’u yang berarti kumpulan ( al-jam’ ). Ketiga, sedangkan ulama’ yang lainya memberi nama lain bagi Al-Qurqn, seperti: al-Kitab, al-Nur, al-Rahman, al-Furqon, al-Syifa, al-Maui’zhah, al-Dzikr, al-Hukm, al-Qaul, al-Naba’, al-Azhim, Ahsan al Hadis, al-Matsany, al-Tanjil, al-Ruh, al-Bayan, al-Wahy wa al Bashir, al-Ilm, al-Haqq, al-Shidq, al-‘Adl, al-Amr, al-Basyary, dan al-Balag.
Nama-nama lain untuk Al-Qur’an dikembangkan oleh ulama’ sedemikian rupa, sehingga Abu Hasanal-Harali dan Abdal-Ma’al-syaizalah masing-masing memberi nama sebanyak 90 dan 55 macam. Namun pemberian nama yang terlalu banyak ini, di tentang oleh sebagian ulama’ antara lainn adalah Shubhi Shalih, karena dianggap terlalu berlebihan danterkesan adanya pencampradukan antara nama-nama Al-Qur’an  dan sifat-sifatnya.
Dari sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur’an . Dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Qur’an  sebagai tersurat dalam nama-namanya’ adalah sebagai berikut:
a.       Al-huda (petunjuk). Al-Qur’an  berfungsi sebagai petunjuk, petunjuk bagi manusia secara umum. Contohnya dalam firman Allah
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_185.png
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an  sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil ...”
(QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Dan Al-Qur’an juga sebagai petunjuk orang-orang yang bertawakal. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_2.png
Artinya: “Kitab Al-Qur’an  ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah[2]: 2). Al-Qur’an  sebaggai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa juga di jelaskan pada ayat yang lainnya juga, yaitu pada surat (Ali-Imran[3]: 138),surat (Al-Fushshilat[41]: 44),dan juga dalam surat (QS. Yunus[10]: 57).

b.      Al-Furqan (pemisah). Dalam Al-Qur’an  dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang bathil, atau antara yang benar dan yang salah. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_185.png
Artinya: “Al-Qur’an  sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil ...) “ (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

c.       Al-Syifa (obat). Dalam Al-Qur’an  juga di katakan bahwa Al-Qur’an  juga berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\Downloads\10_57.png
Artinya: “hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada ... “
(Q.S. Yunus[10]: 57)

d.      Al-Mau’izhah (nasihat). Al-Qur’an juga berfungsi sebagai nasihat orang yang bertakwa. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\Downloads\3_138.png
Artinya: “Al-Qur’an  ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran[3] :138)
Demikian fungsi Al-Qur’an yang di ambil dari nama-nama yang di firmankan Allah dalam Al-Qur’an .sedangkan fungsi Al-Qur’an  dari fungsi pengamalan dan penghayatan terhadap isinya tergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan.
ii.  Al-Qur’an Sebagai Firman Allah
Masih dangan pertimbangan nama-nama Al-Qur’an tadi, kita dapat menangkap kesamaan yang pada akhirnya ulama’ menyebutkan sebagai Hakikat Al-Qur’an. yaitu, bahwa Al-Qur’an  merupakan kalam Allah atau wahyu yang di turunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat jibril untuk di sampaikan kepada umatnya.
Sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan merupakan ciptaan atau pikiran nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan ciptaan atau hasil dari pemikiran nabi Muhammad. Tidak benar dan tidak dapat di pertanggungjawabkan.
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_23.pngPerbedaan sekitar otensitas Al-Qur’an  sebagai firman Allah telah terjadi ketika Al-Qur’an  di turunkan. Oleh karena itu, Allah menentang kepada penantang Al-Qur’an  untuk membuat satu surat yang sama dengan Al-Qur’an. Allah berfirman
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an  yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah[2]: 23).
Tantangan tersebut di sertai pula dengan ancaman berupa kepastian bahwa manusia tidak mampu menciptakan Al-Qur’an. Allah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\2_24.png
Artinya: “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir “. (QS. Al-Baqarah[2]: 24)
Setelah perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang yang meragukan otentisitas Al-Qur’an  karena di anggap telah diintervesi oleh manusia, terutama umat islam generasi pertama yang kita kenal sebagai sahabat nabi Muhammad Saw. Allah telah berfirman
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\15_9.png
Artinya: “Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”. (QS. Al-Hijr[15]: 9)
Demikianlah kedudukan Al-Qur’an  sebagai firman Allah. Berdasarkan substansinya, Al-Qur’an  bukan ciptaan nabi Muhammad, Ia di pelihara oleh Allah yang mewahyukanya.
iii.  ‘Ulum Al -Al-Qur’an Dan Tafsir
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an  tidak di turunkan secara langsung dari baitul izza ke bumi, akan tetapi di turunkan secara bertahap, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah di turunkan secara bertahap adalah agar memudahkan manusia dalam memahami konteks Al-Qur’an , dan memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Qur’an  itu tidak hampa sosial. Pewahyuan tergantung pada keadaan masyarakat saat itu, dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur’an  merupakan jawaban terhadap sebagian persoalan yang terjadi pada kehidupan manusia.
M. Quraish Shihab (1995:35-38) membagi proses pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi proses penurunan wahyu itu kepada tiga periode. Pertma, Periode ketika Nabi Muhammad SAW masih berstatus Nabi, yaitu dengan diterimanya wahyu pertama, Surat Al-Alaq. Status beliau lalu berubah menjadi rasul dengan tugas menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah beliau mendapat wahyu kedua (Q.S. Al-Muddatsir[74]: 1-2). Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini tergolong ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : Pertama, masalah pendidikan bagi Rasul Allah SAW dalam membentuk kepribadiannya (Q.S Al-Muddatsir[74]: 1-7), (Q.S. Al-Muzzamil[73]: 1-5), (Q.S. Al-Syu’ara[26]: 214-216); Kedua, Ajaran mengenai pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah (af’al Allah), seperti yang terlukis dalam surat Al-A’la dan surat Al-Ikhlash yang intinya memuat ajaran tauhid dan penyucian diri (tanzih) ; Ketiga, ajaran tentang dasar-dasar akhlak islamiah serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah. Periode ini berlangsung antara empat sampai lima tahun.
Kedua, Periode terjadinya pertarungan antara gerakan islam dan kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun. Ayat-ayat pada periode ini disebut ayat-ayat madaniyyah yang umumnya menerangkan masalah kemasyarakatan.
Masih menurut M. Kuraish Shihab (1996 ; 4), kosakata yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata dengan jumlah huruf sebanyak 323.015. dari jumlah kata dan huruf tersebut, menurut abd al-Rahman, al-Salami, al-Sayuti, dan al-Lusi yang dikutip oleh kafrawi Ridwan dkk,. Jumlah ayatnya secara berturut-turut adalah 6.326 ayat, 6.000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan jumlah ayat disebabkan oleh perbedaan pandangan mengetani masuk-tidaknya kalimat basmalaah dan fawatih al-suwar kepada bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumlah ayat-ayat tersebut selanjutnya dibagi kepada 554 ruku’ yaitu dengan cara menandainya denga huruf‘ain di bagian pinggir halaman Al-Qur’an. Ia pun selanjutnya dibagi kepada 30 juz dan 114 surat yang adal di dalam Al-Qur’an, dilihat dari panjang pendeknya, terjadi kepada empat kelompok yaitu sebagai berikut :
1.                  Al-sab’al-tiwal, yaitu tujuh surat yang panjang, terdiri dari surat Al-Baqarah, Ali’Imran, Al-Nisa, Al-A’raf, Al-An’am, Al-Maidah, dan surat Yunus.
2.                  Al-Mi’un, yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100 ayat lebih, seperti surat Hud, surat Yusuf, dan surat Mu’min.
3.                  Al-Matsani, yaitu surat-surat yang isinya kurang dari 100 ayat, seperti surat Al-Anfal dan surat Al-Hijr.
4.                  Al-Mufashal, yaitu surat-surat pendek, seperti Ad-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Naas, Al-Falaq, Al-Buruuj, Al-Kafirun, dan Al-Ma’un (Juz’Amma)
Adapun cara Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW adalah melalui beberapa cara berikut :
a.       Malaikat memasukan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad
b.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki.
c.       Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAWdalam rupanya yang asli
d.      Wahyu datang kepada Nabi Muhammad SAW seperti seperti gemerincingnya lonceng.




B.  Sunnah
i. Pengertian Sunnah
Kata sunnah (bentuk pluralnya, sunan) berakar dari huruf sin dan nun yang berarti “mengalirkan atau berlalunya sesuatu dengan mudah”. Secara etimologis ,sunnah berarti “jalan atau tata cara yang telah mentradisi”. Sehingga jika dikatakan berarti “seseorang mengikuti jalan yang ditempuh seseorang”. Sunnah juga berarti “praktek yang diikuti, arah, model perilaku, atau tindakan, ketentuan dan peraturan”.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa, kata sunnah telah dipakai oleh para penyair Arab pra islam dan masa islam juga untuk menunjuk arti “aturan atau cara yang dianut”, baik tata cara itu terpuji maupun tercela. Al- Hazaliy misalnya, menyatakan “Janganlah anda merasa risau terhadap tradisi yang anda jalani yang pertama kali puas terhadap suatu sunnah (tradisi) adalah orang yang menjalani tradisi itu sendiri”.
Sebagaimana telah disinggung bahwa sunnah merupakan tata cara atau praktek aktual yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga mentradisi, maka dapat dinyatakan bahwa sunnah merupakan hukum tingkah laku. Oleh karena tingkah laku yang dimaksudkan adala tingkah laku dari para pelaku yang sadar, yang dapat “memiliki” aksi-aksi mereka -meminjam istilah Fazlur Rahman, maka sebuah sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku sebagai mana yang terdapat dalam benda-beda alam, tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif. Artinya, “keharusan” adalah sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian sunnah.
Sunnah merupakan sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa sebuah sunnah memiliki dua unsur. Pertama, praktek aktual yang dilestarikan, kedua, unsur kenormatifannya. Sebuah sunnah memiliki unsur normatif ini dan setelah dipraktekkan secara aktual dalam periode tertentu unsur kenormatifannya menjadi bertambah.
Kata sunnah dalam Al-Qur’an digunakan untuk beberapa konteks, yang secara garis besar dapat digolongkan kepada dua hal, yakni yang berkenaan dengan ketetapan orang-orang terdahulu (sunnatul awwalin) dan ketetapan Allah (sunnatullah). Sunnah yang disebut pertama berarti 'kejadian yang menimpa mereka 'sedang sunnah yang disebut terakhir mengandung arti ketentuan Allah, cara-cara dan aturan yang berlaku bagi makhlukNya.
ii. Kedudukan Sunnah Dalam Islam
Sunnah adalah sumber asasi dan sumber hukum islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai sumber sesudah Al-Qur’an adalah disebabkan karena kedudukannya sebagai juru-tafsir, dan pedoman pelaksanaan yang otentik terhadap Al-Qur’an. Ia menafsirkan dan menjelaskan ketentuan yang masih dalam garis besar atau membatasi keumuman, atau menyusuli apa yang disebut oleh Al-Qur’an. Sebab itu dari satu segi sunnah merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri. Sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebut oleh Al-Qur’an. Tetapi segi lain, sunnah tidak berdiri sendiri, sebab sifat perikatannya terhadap Al-Qur’an. Selain karena kedudukannya sebagai penafsir dan pedoman pelaksanaan Al-Qur’an sehingga tidak bisa keluar aturan-aturan dasar umum yang ada dalam Al-Qur’an sampaipun dalam menetapkan hukum-hukum baru yang tidak disebut oleh Al-Qur’an. Jadi pada hakekatnya sumber sunnah itu sendiri ialah nas-nas Al-Qur’an dan aturan-aturan dasarnya yang umum.
Fungsi Sunnah sebagai sumber asasi Islam dan Hukum Islam yang kedua, ditetapkan sendiri oleh Al-Qur’an. Firman Allah s.w.t.
Description: C:\Users\UU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\4_65.png
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisa[4]: 65)
Mayoritas kalangan ahli hadits (Jumhur) dalam pemakaian Sunnah adalah sama dengan hadits, sehingga mereka membuat klasifikasi berdasar cara pemberitaannya. Ada yang kwalitasnya membuahkan keyakinan, dan ada yang lainnya berkwalitas sangka-sangkaan saja.
Dalam prakteknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur’an dan suri teladan bagi umat Islam. Nabi SAW adalah penafsir Al-Qur’an dan islam berdasarkan yang dilakukannya.
Pengertian ini telah diketahui oleh ummul mukminin Siti Aisyah r.a. Berdasarkan ilmu fiqh yang dikuasainya dan pandangan hatinya yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah SAW, sehingga dapat mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan syarat makna. Pada saat ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW ,dia menjawab
“akhlaknya adalah Al-Qur’an”
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dengan teks, “Akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an”. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam Nasa-i telah meriwayatkan hadits itu sama seperti yang disebutkan dalam tafsir surat Nun (Tafsir Ibnu Katsir).
Barang siapa yang ingin mengetahui metode pengenalan Islam dengan semua kekhususannya serta rukunnya, seharusnya mengenal contoh-contoh yang diperagakan oleh sunnah nabawi melalui ucapan, perbuatan, dan ketetapannya secara terperinci. Metode-metode tersebut adalah :
1.      Metode yang menyeluruh
Metode ini mempunyai keistimewaan yang meliputi semua aspek kehidupan manusia dipandang dari segi vertikal,horizontal,dan kedalamannya. Maksud segi vertikal disini ialah cara pandang yang meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam semua aktifitasnya yang sejalan dengan petunjuk Nabi, baik dirumah, pasar, masjid, jalan, maupun dilingkungan pekerjaan. Selain itu mencakup juga hubungannya dengan Allah dan dengan manusia, seperti hubungannya dengan keluarga, sesama muslim dan non muslim, bahkan dengan seluruh umat manusia, hewan, dan benda mati.
Maksud segi horizontal ialah jarak masa yang dijalani oleh kehidupn manusia, dimulai dari kelahirannya sampai kematiannya, bahkan mencakup pula masa   kandungannya sampai kehidupan sesudah mati. Adapun maksud segi kedalamannya adalah pandangan yang menyorot diri manusia, meliputi jasad, akal, dan roh. Hal ini           berarti mencakup segi lahiriah dan batiniah manusia, seperti ucapan, perbuatan, dan niatnya.

2.      Metode perimbangan
Metode perimbangan adalah metode yang mempunyai keistimewaan menyelaraskan dan menyeimbangkan antara roh dan jasad, akal dan hati, dunia dan akhirat, idealisme dan kenyataan, teori dan praktek, alam gaib dan alam nyata, kebebasan dan tanggung jawab, individu dan masyarakat, serta antara ketaatan dan kepiawaian.
Pada garis besarnya, metode ini merupakan metode yang terbaik bagi umat yang terbaik. Oleh karena itu, apabila Nabi SAW, melihat sebagian sahabatnya cenderung mempunyai sikap berlebihan atau lalai, beliau akan mengembalikan mereka kepada jalan pertengahan dan mengingatkan mereka akan akibat buruk dari sikap berlebihan dan lalai tersebut.

3.      Metode praktis
Keistimewaan metode praktis, yaitu mudah, praktis dan toleran. Sifat Rasulullah SAW. Termaktub dalam kitab umat terdahulu, yaitu kitab Taurat dan kitab Injil. Dalam sunnah Nabi SAW tidak ditemukan hal-hal yang menyempitkan manusia atau menyempitkan urusan dunia mereka karena agamanya, bahkan Nabi SAW Mengungkapkan keberadaan dirinya dengan bersabda “Sesungguhnya, aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan.”
Beliau menakwilkan makna firman Allah SWT yang menyebutkan
Description: G:\Khusus Data Kuliah UU\Semester 4\21_107.png
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya[21]: 107)
Hadits diatas driwayatkan oleh Ibnu Sa'd, Imam Hakim, dan Imam Tirmidzi melalui Abu Shaleh secara mursal. Imam Hakim meriwayatkan hadits itu melalui Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara maushul. Hadits itu dinilai shahih dengan syarat Syaikhain, sebagai mana disetujui oleh Adz Dzahabi. Adapun Al Albani menilai hadits dalam komentarnya terhadap tulisan penulis yang berjudul Haram dan halal.
C. Ijtihad
Ijtihad adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran dan Hadits. Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw.  Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau sumber  hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur’an).”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga  berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan.
Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan beragama, Mujtahid merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah Muttabi’ dan Muqallid.
Muttabi’ artinya mengikuti fatwa atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling benar. Pekerjaan Muttabi’ disebut Ittiba’.
Muqallid artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan Muqalliddisebut Taklid. Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.
Para ulama Madzhab yang terkenal dan terbanyak pengikutnya di antara ulama-ulama lain, yakni Imam Abu Hanifah (699 H/767 M), Imam Malik (714 H/798 M), Imam Syafi’i (767 H/854 M), dan Imam Ahmad bin Hambal (780 H/855 M) yang dikenal dengan Madzahibul Arba’ah (Aliran Empat), melarang umat Islam bertaklid buta kepada mereka:
“Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui darimana sumber pendapat kami itu” (Abu Hanifah).
“Aku ini hanyalah seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah, dan segala yang tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah, tinggalkanlah!” (Imam Malik).
“Apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid kepadaku (La Tuqalliduni)!”
“Jangan kamu taklid kepadaku (La Tuqallid ni)! Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’i, dan jangan kepada Ats-Tsauri! Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!” (Ahmad bin Hambal).
i. Metode dalam pelaksanaan Ijtihad
·         Qiyas
Qiyas artinya mengukur atau mempersamakan, yakni memperbandingkan atau mempersamakan hukum suatu perkara dengan perkara lain berdasarkan persamaan ‘illah (sebab yang mendasari ketetapan hukum).
Misalnya, arak (khamr) diharamkan karena memabukkan (Q.S. 2:219) dan riba diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S. 2:275).
Maka, secara Qiyas, benda dan hal lain pun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga. Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum itu berputar menurut ‘illah-nya”.

·         Mashalih Mursalah.
Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar Islam.

·         Istinbath
Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya. Misalnya soal riba (pembayaran berlebih atas utang atau pinjaman yang disyaratkan pemberi pinjaman). Bunga pinjaman bank secara istinbath dibolehkan karena pinjaman yang diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak ada illat penganiayaan dalam bunga pinjaman itu karena pinjaman yang diberikan adalah bukan pinjaman-konsumtif, tetapi untuk modal usaha atau memperbesar modal perusahaan yang telah berjalan. Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam pinjaman itu.
Namun demikian, ada pula pendapat yang tetap mengharamkan bunga pinjaman-produktif karena tetap mengandung unsur penganiayaan --bank tidak mau tahu apakah usaha seseorang itu untung atau rugi.

·         Istihsan
Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk biaya pembangunan masjid.
Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan, orang yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan puasanya, tanpa penjelasan batal-tidaknya puasa orang tersebut.
Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau tanpa sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya.

·         Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:
 Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
 Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
 Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak membantahnya. Wallahu a'lam





BAB IV
KESIMPULAN
Secara garis besar sumber agama dan ajaran islam ialah pengembangan agama Islam. Agama Islam yang bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Sumber agama dan ajaran islam secara global mencangkup berbagai unsur unsur islam yang meliputi inti inti dalam islam. Hubungan agama Islam dengan Ilmu – ilmu keislaman yang menjelaskan atau mengembangkan agama Islam menjadi ajaran Islam. sumber agam dan ajaran islam itu sangat penting untuk di pahami lebih dalam lagi, di kaji lebih luas lagi sehingga tidak ada keranguan dalam melaksanakan ajaran islam. dalm islam banyak hal hal yang mudah tapi kadang kita sering menggampangkan sehingga tidak valid dalam pembahasan, pengucapan, atau pelaksanaannya. maka dari itu dengan kita selalu menyimak dan memahami tentang sumber agama dan ajaran islam kita bisa lebih mudah dan mengerti tanpa kebimbangan.














BAB V
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan. Harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan pengetahuan tentang berbagai hal mengenai sumber-sumber ajaran islam. Kami menyadari akan adanya kekurangan dalam hal penyajian, penjelasan, maupun buku acuan yang kami gunakan. Oleh sebab itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya. Terimakasih atas perhatian pembaca. Semoga makalah kami bermanfaat, Aamiin.




















DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Drs. Atang Abd. MA. , Mubarok, DR. Jaih. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
HAM, Mushadi . 2000. Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV Aneka Ilmu
Nata, Abiddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana
Naim, Ngainun . 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras
Perwardaminta, W.S.J. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Qardhawi, Dr. Yusuf . 1995. Studi Kritis As Sunnah. Bandung: Trigenda karya
Razak, Drs. Nasruddin . 1984. Dienul Islam. Bandung: PT. Alma'arif
Ibid, hlm. 108
Ibid, hlm. 110.
H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985, hlm. 21-29.
http://inilahrisalahislam.blogspot.com/2013/01/sumber-ajaran-islam-3-ijtihad.html