BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sumber Ajaran Islam
Sumber dapat diartikan sebagai tempat yang darinya
dapat di peroleh bahan-bahan yang
diperlukan untuk membuat sesuatu. Hutan misalnya, sebagai sumber bahan untuk
keperluan bangunan dan alat-alat rumah tangga, seperti kayu, bambu, dan rotan.
Selanjutnya, gunung, dapat menjadi sumber bahan bangunan dan tambang, seperti
pasir, kapur, emas, perak, dan tembaga. Demikian juga laut dapat menjadi sumber
bahan makanan, mutiara, bahan bangunan, seperti pasir, dan karang.
Dalam bahasa indonesia, sumber diartikan mata air,
perigi, misalnya mengambil air disumber, dan berarti pula asal ( dalam berbagai
arti ), misalnya kabar dari sumber yang dapat di percaya, dan sekalian kutipan
harus disebutkan sumbernya. Dalam bahasa arab, sumber di sebut masdar yang
jamaknya masdir, yang dapat diartikan starting point ( titik tolak ), poin of
origin ( sumber asli ), origin ( asli ), infinitive ( tidak terbatas ), verbal
nounce ( kalimat kata kerja ), dan absolute or internal object ( mutlak atau
tujuan yang bersifat internal ).
Islam sebagai bangunan atau kontruksi yang
didalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan sebagainya
membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan guna
mengkontruksi ajaran islam tersebut.
Dengan mengacu kepada firman Allah,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an
) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS.
An-Nisa’:59)
Dapat diketahui bahwa sumber ajaran islam ada tiga,
yaitu Al-Qur’an , As-Sunnah ( sebagai sumber primer ) dan Ijtihad, yakni pemikiran manusia (
sebagai sumber sekunder ).
2.
Macam-macam sumber ajaran Islam
Para ulama’, sepakat bahwa
sumber ajaran islam yang utama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun sumber
yang sekunder adalah pemikiran para ulama’, termasuk umaro’. Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai sumber pertama dapat di pahami dari redaksi yang terdapat
pada ayat tersebut, yaitu bahwa sebelum lafal Allah dan al-rasul di dahului
oleh kata kerja perintah, athi’u yang berarti ta’ati atau patuhi. Adapun pada
lafal ulil al-Amri tidak di dahului oleh kata kerja perintah athi’u. Ini
menunjukan bahwa mentaati Allah dan Rasul hukumnya wajib, bahkan mutlak. Adapun
taat kepada ulil amri tergantung pada keadaan. Jika kebijakan ulil amri ini
sejalan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, maka wajib di patuhi, sedang jika
kebijakanya tidak sesuai dan as-Sunnah, maka tidak wajib diikuti.
Penjelasan terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad
sebagai sumber ajaran islam lebih lanjut dapat di kemukakan sebagai berikut:
A. Al-Qur’an
Pengertian
Secara etimologis kata Al-Qur’an
merupakan masdar ( lafadz yang menunjukan arti hadats tanpa disertai dengan
zaman ) dari kata qa-ra-a, yang berarti bacaan dan apa yang tertulis padanya.
Di tinjau dari segi terminologis, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh
para ulama’. Manna al-Qaththan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Sementara Al-Amidi
mendefinisikan Al-Qur’an sebagai Kalam Allah, mengandung mukjizat, dan
diturunkan kepada Rasulullah, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam
mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas Definisi
yang dikemukakan oleh Abdul Wahab lebih terperinci lagi. Menurut khallaf, Al-Qur’an
adalah firman Allah yang di turunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin
Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa Arab dan maknanya
yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi rasul, bahwa ia benar-benar rasulullah,
menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi
sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan di
akhiri dengan surat An-Naas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari
generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan secara terjaga dari
perubahan dan pergantian.
Dari pendapat para ulama’ tersebut dapat di simpulkan bahwa Al-Qur’an memiliki beberapa ciri:
1.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.
2.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Hal ini ditunjukan oleh beberapa
ayat Al-Qur’an, seperti: (QS. Al-Syu’ara[26]: 192-195), (QS. Yusuf[12]:2), (QS.
Az-Zumar[39]:28), dan lain sebagainya.
3.
Al-Qur’an itu dinukilkan kepada
beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir.
4.
Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan
dari hafalan maupun membaca dari mushaf Al-Qur’an .
5.
Al-Qur’an di mulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
6.
Al-Qur’an sebagai Sumber Agama Islam
Bagian ini terdiri dari tiga
bagian: pertama, fungsi Al-Qur’an; kedua, Al-Qur’an sebagai firman Allah; dan ketiga, ‘ulum Al-Qur’an
dan tafsir.
i. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kata turunan ( masdar ) dari kata
qara’a (fi’il madhi ) dengan arti isim al maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya di
baca ( Al-Qur’an dan terjemahanya ). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an
yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an Dalam ayat tersebut, Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya kami yang akan mengumpulkannya
(di dadamu) dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah[75]:17-18 ).
Kata Al-Qur’an selanjutnya digunakan untuk
menunjukan kalam Allah yang di wahyukan kepada nabi Muhammad Saw. Sedangkan
kalam Allah yang di turunkan kepada selain nabi Muhammad tidak di namai Al-Qur’an, melainkan mempunyai nama sendiri.
Contohnya: taurat diturunkan kepada nabi Musa a.s, zabur kepada nabi Dawud a.s,
dan injil kepada nabi Isa a.s.
Fath Ridwan menerangkan bahwa para ahli tafsir
bersilang pendapat mengenai penamaan Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an adalah nama ynag khusus( khas ) bagi firman
Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Kedua, Al-Qur’an di ambil dari kata qara’in ( petunjuk atau
indikator ) karena ayatnya yang saling menguatkan dan saling membenarkan, dan Al-Qur’an
juga diambil dari kata al-qar’u yang
berarti kumpulan ( al-jam’ ). Ketiga, sedangkan ulama’ yang lainya memberi nama
lain bagi Al-Qurqn, seperti: al-Kitab, al-Nur, al-Rahman, al-Furqon, al-Syifa,
al-Maui’zhah, al-Dzikr, al-Hukm, al-Qaul, al-Naba’, al-Azhim, Ahsan al Hadis,
al-Matsany, al-Tanjil, al-Ruh, al-Bayan, al-Wahy wa al Bashir, al-Ilm, al-Haqq,
al-Shidq, al-‘Adl, al-Amr, al-Basyary, dan al-Balag.
Nama-nama lain untuk Al-Qur’an dikembangkan oleh
ulama’ sedemikian rupa, sehingga Abu Hasanal-Harali dan Abdal-Ma’al-syaizalah
masing-masing memberi nama sebanyak 90 dan 55 macam. Namun pemberian nama yang
terlalu banyak ini, di tentang oleh sebagian ulama’ antara lainn adalah Shubhi
Shalih, karena dianggap terlalu berlebihan danterkesan adanya pencampradukan
antara nama-nama Al-Qur’an dan
sifat-sifatnya.
Dari sebagian nama-nama tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur’an . Dari
sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-namanya’ adalah
sebagai berikut:
a. Al-huda (petunjuk). Al-Qur’an
berfungsi sebagai petunjuk, petunjuk
bagi manusia secara umum. Contohnya dalam firman Allah
Artinya: “Bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil ...”
(QS. Al-Baqarah[2]: 185)
Dan Al-Qur’an juga sebagai
petunjuk orang-orang yang bertawakal. Allah berfirman
Artinya: “Kitab Al-Qur’an ini
tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS.
Al-Baqarah[2]: 2). Al-Qur’an sebaggai
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa juga di jelaskan pada ayat yang lainnya
juga, yaitu pada surat (Ali-Imran[3]: 138),surat (Al-Fushshilat[41]: 44),dan
juga dalam surat (QS. Yunus[10]: 57).
b. Al-Furqan (pemisah). Dalam Al-Qur’an
dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang bathil, atau antara yang
benar dan yang salah. Allah berfirman
Artinya: “Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil ...) “ (QS. Al-Baqarah[2]: 185)
c. Al-Syifa (obat). Dalam Al-Qur’an
juga di katakan bahwa Al-Qur’an juga berfungsi sebagai obat bagi
penyakit-penyakit yang ada di dalam dada. Allah berfirman
Artinya: “hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada ... “
(Q.S. Yunus[10]: 57)
d. Al-Mau’izhah (nasihat). Al-Qur’an
juga berfungsi sebagai nasihat orang yang bertakwa. Allah berfirman
Artinya: “Al-Qur’an ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan
petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran[3] :138)
Demikian fungsi Al-Qur’an yang di ambil dari
nama-nama yang di firmankan Allah dalam Al-Qur’an .sedangkan fungsi Al-Qur’an dari fungsi pengamalan dan penghayatan
terhadap isinya tergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan.
ii. Al-Qur’an Sebagai Firman Allah
Masih dangan pertimbangan
nama-nama Al-Qur’an tadi, kita dapat menangkap kesamaan yang pada akhirnya
ulama’ menyebutkan sebagai Hakikat Al-Qur’an. yaitu, bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah atau wahyu yang di
turunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat jibril untuk di sampaikan kepada
umatnya.
Sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan merupakan ciptaan
atau pikiran nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
merupakan ciptaan atau hasil dari pemikiran nabi Muhammad. Tidak benar dan
tidak dapat di pertanggungjawabkan.
Perbedaan sekitar otensitas Al-Qur’an sebagai firman Allah telah terjadi ketika Al-Qur’an
di turunkan. Oleh karena itu, Allah
menentang kepada penantang Al-Qur’an untuk membuat satu surat yang sama dengan Al-Qur’an.
Allah berfirman
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu
dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.
(QS. Al-Baqarah[2]: 23).
Tantangan tersebut di sertai pula dengan ancaman
berupa kepastian bahwa manusia tidak mampu menciptakan Al-Qur’an. Allah
berfirman
Artinya: “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan
(pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir “. (QS.
Al-Baqarah[2]: 24)
Setelah perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang
yang meragukan otentisitas Al-Qur’an karena di anggap telah diintervesi oleh
manusia, terutama umat islam generasi pertama yang kita kenal sebagai sahabat
nabi Muhammad Saw. Allah telah berfirman
Artinya: “Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan
Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”. (QS. Al-Hijr[15]: 9)
Demikianlah kedudukan Al-Qur’an sebagai firman Allah. Berdasarkan
substansinya, Al-Qur’an bukan ciptaan
nabi Muhammad, Ia di pelihara oleh Allah yang mewahyukanya.
iii. ‘Ulum Al -Al-Qur’an Dan Tafsir
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an
tidak di turunkan secara langsung dari
baitul izza ke bumi, akan tetapi di turunkan secara bertahap, sedikit demi
sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah di turunkan secara bertahap adalah agar
memudahkan manusia dalam memahami konteks Al-Qur’an , dan memberikan pemahaman
bahwa setiap ayat Al-Qur’an itu tidak
hampa sosial. Pewahyuan tergantung pada keadaan masyarakat saat itu, dari aspek
ini, sebagian ayat Al-Qur’an merupakan
jawaban terhadap sebagian persoalan yang terjadi pada kehidupan manusia.
M. Quraish Shihab (1995:35-38) membagi proses
pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi
proses penurunan wahyu itu kepada tiga periode. Pertma, Periode ketika Nabi
Muhammad SAW masih berstatus Nabi, yaitu dengan diterimanya wahyu pertama,
Surat Al-Alaq. Status beliau lalu berubah menjadi rasul dengan tugas
menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah beliau mendapat wahyu
kedua (Q.S. Al-Muddatsir[74]: 1-2). Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini
tergolong ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : Pertama, masalah
pendidikan bagi Rasul Allah SAW dalam membentuk kepribadiannya (Q.S
Al-Muddatsir[74]: 1-7), (Q.S. Al-Muzzamil[73]: 1-5), (Q.S. Al-Syu’ara[26]:
214-216); Kedua, Ajaran mengenai pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan
Allah (af’al Allah), seperti yang terlukis dalam surat Al-A’la dan surat Al-Ikhlash
yang intinya memuat ajaran tauhid dan penyucian diri (tanzih) ; Ketiga, ajaran
tentang dasar-dasar akhlak islamiah serta bantahan terhadap pandangan hidup
jahiliyah. Periode ini berlangsung antara empat sampai lima tahun.
Kedua, Periode terjadinya pertarungan antara gerakan
islam dan kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun. Ayat-ayat
pada periode ini disebut ayat-ayat madaniyyah yang umumnya menerangkan masalah
kemasyarakatan.
Masih menurut M. Kuraish Shihab (1996 ; 4), kosakata
yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata dengan jumlah huruf sebanyak
323.015. dari jumlah kata dan huruf tersebut, menurut abd al-Rahman, al-Salami,
al-Sayuti, dan al-Lusi yang dikutip oleh kafrawi Ridwan dkk,. Jumlah ayatnya
secara berturut-turut adalah 6.326 ayat, 6.000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan
jumlah ayat disebabkan oleh perbedaan pandangan mengetani masuk-tidaknya
kalimat basmalaah dan fawatih al-suwar kepada bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumlah ayat-ayat tersebut selanjutnya dibagi kepada
554 ruku’ yaitu dengan cara menandainya denga huruf‘ain di bagian pinggir
halaman Al-Qur’an. Ia pun selanjutnya dibagi kepada 30 juz dan 114 surat yang
adal di dalam Al-Qur’an, dilihat dari panjang pendeknya, terjadi kepada empat
kelompok yaitu sebagai berikut :
1.
Al-sab’al-tiwal, yaitu tujuh surat yang panjang, terdiri dari surat
Al-Baqarah, Ali’Imran, Al-Nisa, Al-A’raf, Al-An’am, Al-Maidah, dan surat Yunus.
2.
Al-Mi’un, yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100 ayat lebih, seperti surat
Hud, surat Yusuf, dan surat Mu’min.
3.
Al-Matsani, yaitu surat-surat yang isinya kurang dari 100 ayat, seperti
surat Al-Anfal dan surat Al-Hijr.
4.
Al-Mufashal, yaitu surat-surat pendek, seperti Ad-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Naas,
Al-Falaq, Al-Buruuj, Al-Kafirun, dan Al-Ma’un (Juz’Amma)
Adapun cara Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad SAW adalah melalui beberapa cara berikut :
a. Malaikat memasukan wahyu ke
dalam hati Nabi Muhammad
b. Malaikat menampakkan dirinya
kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki.
c. Malaikat menampakkan dirinya
kepada Nabi Muhammad SAWdalam rupanya yang asli
d. Wahyu datang kepada Nabi
Muhammad SAW seperti seperti gemerincingnya lonceng.
B. Sunnah
i. Pengertian
Sunnah
Kata sunnah (bentuk pluralnya, sunan) berakar dari
huruf sin dan nun yang berarti “mengalirkan atau berlalunya sesuatu dengan
mudah”. Secara etimologis ,sunnah berarti “jalan atau tata cara yang telah
mentradisi”. Sehingga jika dikatakan berarti “seseorang mengikuti jalan yang
ditempuh seseorang”. Sunnah juga berarti “praktek yang diikuti, arah, model
perilaku, atau tindakan, ketentuan dan peraturan”.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa, kata sunnah
telah dipakai oleh para penyair Arab pra islam dan masa islam juga untuk
menunjuk arti “aturan atau cara yang dianut”, baik tata cara itu terpuji maupun
tercela. Al- Hazaliy misalnya, menyatakan “Janganlah anda merasa risau terhadap
tradisi yang anda jalani yang pertama kali puas terhadap suatu sunnah (tradisi)
adalah orang yang menjalani tradisi itu sendiri”.
Sebagaimana telah disinggung bahwa sunnah merupakan
tata cara atau praktek aktual yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
mentradisi, maka dapat dinyatakan bahwa sunnah merupakan hukum tingkah laku.
Oleh karena tingkah laku yang dimaksudkan adala tingkah laku dari para pelaku
yang sadar, yang dapat “memiliki” aksi-aksi mereka -meminjam istilah Fazlur
Rahman, maka sebuah sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku
sebagai mana yang terdapat dalam benda-beda alam, tetapi juga merupakan sebuah
hukum moral yang bersifat normatif. Artinya, “keharusan” adalah sebuah unsur
yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian sunnah.
Sunnah merupakan sebuah konsep perilaku, maka
sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama
tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek
yang normatif dari masyarakat tersebut. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
sebuah sunnah memiliki dua unsur. Pertama, praktek aktual yang dilestarikan,
kedua, unsur kenormatifannya. Sebuah sunnah memiliki unsur normatif ini dan
setelah dipraktekkan secara aktual dalam periode tertentu unsur kenormatifannya
menjadi bertambah.
Kata sunnah dalam Al-Qur’an digunakan untuk beberapa
konteks, yang secara garis besar dapat digolongkan kepada dua hal, yakni yang
berkenaan dengan ketetapan orang-orang terdahulu (sunnatul awwalin) dan
ketetapan Allah (sunnatullah). Sunnah yang disebut pertama berarti 'kejadian
yang menimpa mereka 'sedang sunnah yang disebut terakhir mengandung arti
ketentuan Allah, cara-cara dan aturan yang berlaku bagi makhlukNya.
ii.
Kedudukan Sunnah Dalam Islam
Sunnah adalah sumber asasi dan sumber hukum islam
yang kedua sesudah Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai sumber sesudah Al-Qur’an
adalah disebabkan karena kedudukannya sebagai juru-tafsir, dan pedoman
pelaksanaan yang otentik terhadap Al-Qur’an. Ia menafsirkan dan menjelaskan
ketentuan yang masih dalam garis besar atau membatasi keumuman, atau menyusuli
apa yang disebut oleh Al-Qur’an. Sebab itu dari satu segi sunnah merupakan
sumber hukum yang berdiri sendiri. Sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak
disebut oleh Al-Qur’an. Tetapi segi lain, sunnah tidak berdiri sendiri, sebab
sifat perikatannya terhadap Al-Qur’an. Selain karena kedudukannya sebagai
penafsir dan pedoman pelaksanaan Al-Qur’an sehingga tidak bisa keluar
aturan-aturan dasar umum yang ada dalam Al-Qur’an sampaipun dalam menetapkan
hukum-hukum baru yang tidak disebut oleh Al-Qur’an. Jadi pada hakekatnya sumber
sunnah itu sendiri ialah nas-nas Al-Qur’an dan aturan-aturan dasarnya yang
umum.
Fungsi Sunnah sebagai sumber asasi Islam dan Hukum
Islam yang kedua, ditetapkan sendiri oleh Al-Qur’an. Firman Allah s.w.t.
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman
sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya” (QS. An-Nisa[4]: 65)
Mayoritas kalangan ahli hadits (Jumhur) dalam
pemakaian Sunnah adalah sama dengan hadits, sehingga mereka membuat klasifikasi
berdasar cara pemberitaannya. Ada yang kwalitasnya membuahkan keyakinan, dan
ada yang lainnya berkwalitas sangka-sangkaan saja.
Dalam prakteknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur’an
dan suri teladan bagi umat Islam. Nabi SAW adalah penafsir Al-Qur’an dan islam
berdasarkan yang dilakukannya.
Pengertian ini telah diketahui oleh ummul mukminin
Siti Aisyah r.a. Berdasarkan ilmu fiqh yang dikuasainya dan pandangan hatinya
yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah SAW, sehingga dapat
mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan syarat makna. Pada
saat ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW ,dia menjawab
“akhlaknya adalah Al-Qur’an”
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dengan teks, “Akhlak
Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an”. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam Nasa-i
telah meriwayatkan hadits itu sama seperti yang disebutkan dalam tafsir surat
Nun (Tafsir Ibnu Katsir).
Barang siapa yang ingin mengetahui metode pengenalan
Islam dengan semua kekhususannya serta rukunnya, seharusnya mengenal
contoh-contoh yang diperagakan oleh sunnah nabawi melalui ucapan, perbuatan,
dan ketetapannya secara terperinci. Metode-metode tersebut adalah :
1. Metode yang menyeluruh
Metode ini mempunyai
keistimewaan yang meliputi semua aspek kehidupan manusia dipandang dari segi
vertikal,horizontal,dan kedalamannya. Maksud segi vertikal disini ialah cara
pandang yang meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam semua aktifitasnya
yang sejalan dengan petunjuk Nabi, baik dirumah, pasar, masjid, jalan, maupun
dilingkungan pekerjaan. Selain itu mencakup juga hubungannya dengan Allah dan
dengan manusia, seperti hubungannya dengan keluarga, sesama muslim dan non
muslim, bahkan dengan seluruh umat manusia, hewan, dan benda mati.
Maksud segi horizontal ialah
jarak masa yang dijalani oleh kehidupn manusia, dimulai dari kelahirannya
sampai kematiannya, bahkan mencakup pula masa
kandungannya sampai kehidupan sesudah mati. Adapun maksud segi
kedalamannya adalah pandangan yang menyorot diri manusia, meliputi jasad, akal,
dan roh. Hal ini berarti
mencakup segi lahiriah dan batiniah manusia, seperti ucapan, perbuatan, dan
niatnya.
2. Metode perimbangan
Metode perimbangan adalah
metode yang mempunyai keistimewaan menyelaraskan dan menyeimbangkan antara roh
dan jasad, akal dan hati, dunia dan akhirat, idealisme dan kenyataan, teori dan
praktek, alam gaib dan alam nyata, kebebasan dan tanggung jawab, individu dan
masyarakat, serta antara ketaatan dan kepiawaian.
Pada garis besarnya, metode
ini merupakan metode yang terbaik bagi umat yang terbaik. Oleh karena itu,
apabila Nabi SAW, melihat sebagian sahabatnya cenderung mempunyai sikap
berlebihan atau lalai, beliau akan mengembalikan mereka kepada jalan
pertengahan dan mengingatkan mereka akan akibat buruk dari sikap berlebihan dan
lalai tersebut.
3. Metode praktis
Keistimewaan metode praktis,
yaitu mudah, praktis dan toleran. Sifat Rasulullah SAW. Termaktub dalam kitab
umat terdahulu, yaitu kitab Taurat dan kitab Injil. Dalam sunnah Nabi SAW tidak
ditemukan hal-hal yang menyempitkan manusia atau menyempitkan urusan dunia
mereka karena agamanya, bahkan Nabi SAW Mengungkapkan keberadaan dirinya dengan
bersabda “Sesungguhnya, aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan.”
Beliau menakwilkan makna
firman Allah SWT yang menyebutkan
Artinya: “Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS.
Al-Anbiya[21]: 107)
Hadits diatas driwayatkan
oleh Ibnu Sa'd, Imam Hakim, dan Imam Tirmidzi melalui Abu Shaleh secara mursal.
Imam Hakim meriwayatkan hadits itu melalui Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara
maushul. Hadits itu dinilai shahih dengan syarat Syaikhain, sebagai mana
disetujui oleh Adz Dzahabi. Adapun Al Albani menilai hadits dalam komentarnya
terhadap tulisan penulis yang berjudul Haram dan halal.
C. Ijtihad
Ijtihad adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran
dan Hadits. Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya
mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal
mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan
pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab
tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan
kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang
muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw. Ijtihad
diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau
sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan
oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau
tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai
Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan
perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan
memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur’an).”
“Dan jika di dalam
Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba
akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak
menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi)
tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi
Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa
yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu
terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya
Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu
punya Al-Quran!”
“Ya
Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk
tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk,
dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang
akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah
seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi
Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang
tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami
lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah
telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat
setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah
keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke
jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang
tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang,
siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan
Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga
berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan
dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.
Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya
disebut Ijma’ atau kesepakatan.
Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan
beragama, Mujtahid merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah Muttabi’ dan Muqallid.
Muttabi’ artinya
mengikuti fatwa atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang,
dan membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling
benar. Pekerjaan Muttabi’ disebut Ittiba’.
Muqallid artinya
mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti,
dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui
sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan Muqalliddisebut Taklid.
Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan
penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.
Para ulama Madzhab yang terkenal dan terbanyak
pengikutnya di antara ulama-ulama lain, yakni Imam Abu Hanifah (699 H/767 M),
Imam Malik (714 H/798 M), Imam Syafi’i (767 H/854 M), dan Imam Ahmad bin Hambal
(780 H/855 M) yang dikenal dengan Madzahibul Arba’ah (Aliran
Empat), melarang umat Islam bertaklid buta kepada mereka:
“Tidak halal bagi seseorang
berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui darimana sumber
pendapat kami itu” (Abu Hanifah).
“Aku ini hanyalah seorang manusia
yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka koreksilah pendapatku. Segala yang
sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah, dan segala yang tidak sesuai dengan
Quran dan Sunnah, tinggalkanlah!” (Imam Malik).
“Apa yang telah kukatakan padahal
bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari Nabi itulah yang
lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid kepadaku (La Tuqalliduni)!”
“Jangan kamu taklid kepadaku (La
Tuqallid ni)! Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’i, dan jangan
kepada Ats-Tsauri! Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!” (Ahmad bin
Hambal).
i. Metode dalam pelaksanaan Ijtihad
·
Qiyas
Qiyas artinya mengukur atau mempersamakan, yakni
memperbandingkan atau mempersamakan hukum suatu perkara dengan perkara lain
berdasarkan persamaan ‘illah (sebab yang mendasari ketetapan hukum).
Misalnya, arak (khamr) diharamkan karena
memabukkan (Q.S. 2:219) dan riba diharamkan karena mengandung unsur
penganiayaan (Q.S. 2:275).
Maka, secara Qiyas, benda dan hal lain pun jika
ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga.
Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum itu berputar menurut ‘illah-nya”.
·
Mashalih Mursalah.
Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar
hukum, tidak dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk
memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan.
Misalnya, membukukan dan mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin,
imam, khotib, dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari
Besar Islam.
·
Istinbath
Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah
mempertimbangkan permasalahannya. Misalnya soal riba (pembayaran berlebih atas
utang atau pinjaman yang disyaratkan pemberi pinjaman). Bunga pinjaman bank
secara istinbath dibolehkan karena pinjaman yang diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak ada illat penganiayaan dalam
bunga pinjaman itu karena pinjaman yang diberikan adalah bukan
pinjaman-konsumtif, tetapi untuk modal usaha atau memperbesar modal
perusahaan yang telah berjalan. Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam
pinjaman itu.
Namun demikian, ada pula pendapat yang tetap
mengharamkan bunga pinjaman-produktif karena tetap mengandung unsur
penganiayaan --bank tidak mau tahu apakah usaha seseorang itu untung atau rugi.
·
Istihsan
Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan
dari hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya,
menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid sambil menunggu biaya
pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk biaya pembangunan masjid.
Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi
berpuasa. Hadits menyebutkan, orang yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan
puasanya, tanpa penjelasan batal-tidaknya puasa orang tersebut.
Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau tanpa sengaja
mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya.
·
Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu
perkara, meliputi:
Ijma’
Qauli, yaitu para ulama
berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu masalah lalu
memutuskan hukum yang sama.
Ijma’
‘Amali, yaitu kesepakatan
yang tidak diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
Ijma’
Sukuti, yakni “menyetujui
dengan cara mendiamkan”. Ulama tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara
dan ulama lain tidak membantahnya. Wallahu a'lam
BAB IV
KESIMPULAN
Secara garis
besar sumber agama dan ajaran islam ialah pengembangan agama Islam. Agama Islam
yang bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat
Sunnah Rasulullah. Sumber agama dan ajaran islam secara global mencangkup
berbagai unsur unsur islam yang meliputi inti inti dalam islam. Hubungan agama
Islam dengan Ilmu – ilmu keislaman yang menjelaskan atau mengembangkan agama
Islam menjadi ajaran Islam. sumber agam dan ajaran islam itu sangat penting
untuk di pahami lebih dalam lagi, di kaji lebih luas lagi sehingga tidak ada
keranguan dalam melaksanakan ajaran islam. dalm islam banyak hal hal yang mudah
tapi kadang kita sering menggampangkan sehingga tidak valid dalam pembahasan,
pengucapan, atau pelaksanaannya. maka dari itu dengan kita selalu menyimak dan
memahami tentang sumber agama dan ajaran islam kita bisa lebih mudah dan
mengerti tanpa kebimbangan.
BAB V
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan segala
keterbatasan. Harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan pengetahuan
tentang berbagai hal mengenai sumber-sumber ajaran islam. Kami menyadari akan
adanya kekurangan dalam hal penyajian, penjelasan, maupun buku acuan yang kami
gunakan. Oleh sebab itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya. Terimakasih atas perhatian
pembaca. Semoga makalah kami bermanfaat, Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Drs. Atang Abd. MA. , Mubarok, DR. Jaih.
2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
HAM, Mushadi . 2000. Evolusi Konsep Sunnah.
Semarang: CV Aneka Ilmu
Nata, Abiddin. 2011. Studi Islam Komprehensif.
Jakarta: Kencana
Naim, Ngainun . 2009. Pengantar Studi Islam.
Yogyakarta: Teras
Perwardaminta, W.S.J. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Qardhawi, Dr. Yusuf . 1995. Studi Kritis As Sunnah.
Bandung: Trigenda karya
Razak, Drs. Nasruddin . 1984. Dienul Islam. Bandung:
PT. Alma'arif
Ibid, hlm. 108
Ibid, hlm. 110.
H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk.
(Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M
Yogyakarta, 1985, hlm. 21-29.
http://inilahrisalahislam.blogspot.com/2013/01/sumber-ajaran-islam-3-ijtihad.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar