DHF / DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara Tropis dan Subtropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.
Di Indonesia Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD ditenggarai adanya korelasi antara strain dan genetik, tetapi akhir-akhir ini ada tendensi agen penyebab DBD disetiap daerah berbeda. Hal ini kemungkinan adanya faktor geografik, selain faktor genetik dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan tatalaksana DBD secara konvensional sudah berubah.
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan sub tropis. Kejadian penyakit DBD semakin tahun semakin meningkat dengan manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yang dikenal dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue termasuk didalamnya Demam Berdarah Dengue sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam praktek sehati-hari, pada saat pertama kali penderita masuk rumah sakit tidaklah mudah untuk memprediksikan apakah penderita Demam Dengue tersebut akan bermanifestasi menjadi ringan atau berat. Infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue yang berbeda dari sebelumnya merupakan faktor resiko terjadinya manifestasi Deman Berdarah Dengue yang berat atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Namun sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus Dengue masih belum jelas, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue, antara lain faktor host, lingkugan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4. Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotipe virusnya..
Untuk menegakkan diagnosa infeksi virus Dengue diperlukan dua kriteria yaitu kriteria klinik dan kriteria laboratorium (WHO, 1997). Pengembangan tehnologi laboratorium untuk mendiagnosa infeksi virus Dengue terus berlanjut hingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi lebih bagus dengan waktu yang cepat pula. Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu : uji serologi, isolasi virus, deteksi antigen dan deteksi RNA/DNA menggunakan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR). (Mariyam, 1999).
Wabah Dengue yang baru terjadi di Bangladesh yang diidentifikasi dengan PCR ternyata Den-3 yang dominan. Sedangkan wabah di Salta Argentina pada tahun 1997 ditemukan bahwa serotipe Den-2 yang menyebabkan transmisinya. Sistem surveillance Dengue di Nicaragua pada bulan Juli hingga Desember 1998 mengambil sampel dari beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan (Health Center) yang terdapat pada berbagai lokasi menghasilkan temuan 87% DF, 7% DHF, 3% DSS, 3% DSAS. Den-3 paling dominan, Den-2 paling sedikit. Disimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada wilayah geografi dan serotipe virusnya.
Virus Dengue
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang.. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6 ? 11,0 % pada tingkat nukleotida dan 1,3 ? 7,7 % untuk tingkat protein (Fu et al, 1992). Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan antigenitasnya.
Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang terbesar (75%) terdiri dari NS-1 ? NS-5. Dalam merangsang pembentukan antibodi diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti protein prM dan C. Sedangkan pada protein non-struktural yang paling berperan adalah protein NS-1.
Vektor
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari ssubgenus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegyti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti. (WHO, 2000)
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue pada manusia sangat bervariasi. Spektrum variasinya begitu luas, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS), (Soegijanto, 2000). Diagnosis Demam Berdarah Dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997, terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).
Kriteria Klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 1-7 hari.
Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
? Uji tourniquet positif
? Petekia, ekimosis, purpura
? Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
? Hematemesis dan atau melena
? Hematuria
Pembesaran hati (hepatomegali).
Manifestasi syok/renjatan
Kriteria Laboratoris :
Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml)
Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20%)
Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4 derajat, yaitu :
Derajat I:
Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif.
Derajat II :
Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
Derajat III:
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV :
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan patofisiologis yang menyolok, yaitu
Meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).
Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD, namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan dengan adanaya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi Dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD. (WHO, 2000).
Epidemiologi Molekuler
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) danb Dengue Shock Syndrome (DSS).
Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di dari lima wilayah WHO yaitu : 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotipe virus secara bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklis) terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai daerah pedesaan, sirkulasi serotipe virus beragam (WHO, 2000).
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara Tropis dan Subtropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.
Di Indonesia Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD ditenggarai adanya korelasi antara strain dan genetik, tetapi akhir-akhir ini ada tendensi agen penyebab DBD disetiap daerah berbeda. Hal ini kemungkinan adanya faktor geografik, selain faktor genetik dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan tatalaksana DBD secara konvensional sudah berubah.
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan sub tropis. Kejadian penyakit DBD semakin tahun semakin meningkat dengan manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yang dikenal dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue termasuk didalamnya Demam Berdarah Dengue sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam praktek sehati-hari, pada saat pertama kali penderita masuk rumah sakit tidaklah mudah untuk memprediksikan apakah penderita Demam Dengue tersebut akan bermanifestasi menjadi ringan atau berat. Infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue yang berbeda dari sebelumnya merupakan faktor resiko terjadinya manifestasi Deman Berdarah Dengue yang berat atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Namun sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus Dengue masih belum jelas, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue, antara lain faktor host, lingkugan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4. Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotipe virusnya..
Untuk menegakkan diagnosa infeksi virus Dengue diperlukan dua kriteria yaitu kriteria klinik dan kriteria laboratorium (WHO, 1997). Pengembangan tehnologi laboratorium untuk mendiagnosa infeksi virus Dengue terus berlanjut hingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi lebih bagus dengan waktu yang cepat pula. Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu : uji serologi, isolasi virus, deteksi antigen dan deteksi RNA/DNA menggunakan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR). (Mariyam, 1999).
Wabah Dengue yang baru terjadi di Bangladesh yang diidentifikasi dengan PCR ternyata Den-3 yang dominan. Sedangkan wabah di Salta Argentina pada tahun 1997 ditemukan bahwa serotipe Den-2 yang menyebabkan transmisinya. Sistem surveillance Dengue di Nicaragua pada bulan Juli hingga Desember 1998 mengambil sampel dari beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan (Health Center) yang terdapat pada berbagai lokasi menghasilkan temuan 87% DF, 7% DHF, 3% DSS, 3% DSAS. Den-3 paling dominan, Den-2 paling sedikit. Disimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada wilayah geografi dan serotipe virusnya.
Virus Dengue
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang.. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6 ? 11,0 % pada tingkat nukleotida dan 1,3 ? 7,7 % untuk tingkat protein (Fu et al, 1992). Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan antigenitasnya.
Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang terbesar (75%) terdiri dari NS-1 ? NS-5. Dalam merangsang pembentukan antibodi diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti protein prM dan C. Sedangkan pada protein non-struktural yang paling berperan adalah protein NS-1.
Vektor
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari ssubgenus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegyti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti. (WHO, 2000)
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue pada manusia sangat bervariasi. Spektrum variasinya begitu luas, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS), (Soegijanto, 2000). Diagnosis Demam Berdarah Dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997, terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).
Kriteria Klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 1-7 hari.
Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
? Uji tourniquet positif
? Petekia, ekimosis, purpura
? Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
? Hematemesis dan atau melena
? Hematuria
Pembesaran hati (hepatomegali).
Manifestasi syok/renjatan
Kriteria Laboratoris :
Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml)
Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20%)
Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4 derajat, yaitu :
Derajat I:
Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif.
Derajat II :
Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
Derajat III:
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV :
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan patofisiologis yang menyolok, yaitu
Meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).
Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD, namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan dengan adanaya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi Dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD. (WHO, 2000).
Epidemiologi Molekuler
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) danb Dengue Shock Syndrome (DSS).
Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di dari lima wilayah WHO yaitu : 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotipe virus secara bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklis) terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai daerah pedesaan, sirkulasi serotipe virus beragam (WHO, 2000).
Sebaran Wabah DBD Cenderung Meningkat
CITEUREUP (GM) - Kecenderungan naiknya kasus demam berdarah dengue (DBD)
di wilayah Kota Cimahi, membuat Wali Kota Hj. Atty Suharti ikut terjun
melakukan peninjauan jentik nyamuk DBD di RW 07 Kel. Citeureup, Kec. Cimahi
Utara, Kota Cimahi. Atty yang didampingi Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) dr.
Pratiwi, mengimbau masyarakat agar mewaspadai nyamuk DBD dengan menggalakkan
pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
"Tidak dipungkiri lagi, penyebaran kasus DBD masih memperlihatkan adanya kenaikan, apalagi saat ini kondisi cuaca tidak menentu. Karena itulah, kami mohon kepada masyarakat agar membiasakan diri untuk hidup sehat dan bersih, minimal di lingkungan keluarganya masing-masing," imbau wali kota.
Wali kota juga berharap warga segera melapor kepada petugas puskesmas terdekat, apabila ditemukan adanya tanda-tanda warga yang terserang DBD. "Bila kami menerima laporan lebih cepat dari masyarakat, secara otomatis kami bisa mengantisipasinya," tambahnya.
Sementara menurut Pratiwi yang didampingi Sekretaris Dinkes dr. Fitriani Manan, M.K.M., jumlah kasus DBD yang terjadi di Kota Cimahi pada tahun ini diprediksi bisa mengalami peningkatan tajam kembali dari tahun sebelumnya yang mencapai 899 kasus. Pasalnya, hingga Juni 2013 saja jumlah kasus DBD telah mencapai 498 kasus.
"Kami memprediksi jumlah kasus DBD bakal bertambah. Namun, tentu saja kami tidak ingin masalah itu terjadi. Oleh sebab itulah harus membiasakan diri hidup sehat dan bersih," ujarnya.
Pratiwi mengatakan, bila dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 491, jumlah kasus DBD tahun ini terlihat sudah meningkat. Bahkan jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan bertambah, mengingat belum semua rumah sakit melaporkannya.
"Karena biasanya ada warga Cimahi yang dirawat di rumah sakit yang ada di luar Cimahi seperti di RS Rajawali, Hermina, Santosa, dan RS Hasan Sadikin," kata Pratiwi kepada wartawan usai melakukan kunjungan.
Masih kata Pratiwi, berdasarkan catatannya, jumlah kasus DBD pada tahun ini mayoritas terjadi di Kelurahan Citeureup dengan 57 kasus, selebihnya ada Kelurahan Padasuka, Cipageran, dan Cibabat. Sementara jumlah korban meninggal dunia, lanjutnya, selama 2013 empat orang, satu di antaranya warga Kel. Citeureup.
Menurutnya, untuk mengatasi hal itu, pihaknya telah melakukan pantauan langsung ke sejumlah daerah yang menjadi kantong-kantong penyebaran nyamuk mematikan tersebut termasuk mendatangi langsung rumah pasien penderita di Kelurahan Citeureup.
Terbilang cepat
Berdasarkan pemantauan, warga masih belum membiasakan diri hidup dengan pola bersih dan sehat. Hal ini terlihat dari kamar mandi yang kurang rapi dan baju kotor dibiarkan menggantung. Tidak menutup kemungkinan jentik berasal dari selokan belakang rumah warga yang sering tergenang air ketika musim hujan.
"Bahkan ada kolam tidak terawat yang posisinya di belakang rumah warga. Sebaiknya kolam tersebut ditanami ikan untuk meminimalisasi tumbuhnya jentik nyamuk," kata Pratiwi.
Dikatakan, proses penyebaran penyakit DBD yang melanda wilayah Cimahi terbilang cepat. Pasalnya, jarak antarrumah warga sangat berdekatan, sehingga memungkinkan nyamuk yang biasa terbang dalam radius 300 meter menjangkau warga di sekitar itu.
"Tidak dipungkiri lagi, penyebaran kasus DBD masih memperlihatkan adanya kenaikan, apalagi saat ini kondisi cuaca tidak menentu. Karena itulah, kami mohon kepada masyarakat agar membiasakan diri untuk hidup sehat dan bersih, minimal di lingkungan keluarganya masing-masing," imbau wali kota.
Wali kota juga berharap warga segera melapor kepada petugas puskesmas terdekat, apabila ditemukan adanya tanda-tanda warga yang terserang DBD. "Bila kami menerima laporan lebih cepat dari masyarakat, secara otomatis kami bisa mengantisipasinya," tambahnya.
Sementara menurut Pratiwi yang didampingi Sekretaris Dinkes dr. Fitriani Manan, M.K.M., jumlah kasus DBD yang terjadi di Kota Cimahi pada tahun ini diprediksi bisa mengalami peningkatan tajam kembali dari tahun sebelumnya yang mencapai 899 kasus. Pasalnya, hingga Juni 2013 saja jumlah kasus DBD telah mencapai 498 kasus.
"Kami memprediksi jumlah kasus DBD bakal bertambah. Namun, tentu saja kami tidak ingin masalah itu terjadi. Oleh sebab itulah harus membiasakan diri hidup sehat dan bersih," ujarnya.
Pratiwi mengatakan, bila dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 491, jumlah kasus DBD tahun ini terlihat sudah meningkat. Bahkan jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan bertambah, mengingat belum semua rumah sakit melaporkannya.
"Karena biasanya ada warga Cimahi yang dirawat di rumah sakit yang ada di luar Cimahi seperti di RS Rajawali, Hermina, Santosa, dan RS Hasan Sadikin," kata Pratiwi kepada wartawan usai melakukan kunjungan.
Masih kata Pratiwi, berdasarkan catatannya, jumlah kasus DBD pada tahun ini mayoritas terjadi di Kelurahan Citeureup dengan 57 kasus, selebihnya ada Kelurahan Padasuka, Cipageran, dan Cibabat. Sementara jumlah korban meninggal dunia, lanjutnya, selama 2013 empat orang, satu di antaranya warga Kel. Citeureup.
Menurutnya, untuk mengatasi hal itu, pihaknya telah melakukan pantauan langsung ke sejumlah daerah yang menjadi kantong-kantong penyebaran nyamuk mematikan tersebut termasuk mendatangi langsung rumah pasien penderita di Kelurahan Citeureup.
Terbilang cepat
Berdasarkan pemantauan, warga masih belum membiasakan diri hidup dengan pola bersih dan sehat. Hal ini terlihat dari kamar mandi yang kurang rapi dan baju kotor dibiarkan menggantung. Tidak menutup kemungkinan jentik berasal dari selokan belakang rumah warga yang sering tergenang air ketika musim hujan.
"Bahkan ada kolam tidak terawat yang posisinya di belakang rumah warga. Sebaiknya kolam tersebut ditanami ikan untuk meminimalisasi tumbuhnya jentik nyamuk," kata Pratiwi.
Dikatakan, proses penyebaran penyakit DBD yang melanda wilayah Cimahi terbilang cepat. Pasalnya, jarak antarrumah warga sangat berdekatan, sehingga memungkinkan nyamuk yang biasa terbang dalam radius 300 meter menjangkau warga di sekitar itu.
JAKARTA-Soal
penanggulangan DBD, Singapura lebih tanggap daripada Indonesia. Tak perlu
menunggu kasus DBD merebak baru menanggulangi.
"Indonesia seharusnya mencontoh Singapura, respon penanggulangan yang cepat harus dilakukan tanpa perlu menunggu kasus untuk mendapatkan hasil yang baik," menurut dr. Budi Haryanto,dalam diskusi media tentang penanggulangan DBD, di Hotel Ritz Carlton, Kamis (27/06/2013).
Dijelaskan dr. Budi Haryanto, Singapura melakukan fogging secara keseluruhan di negaranya selama sebulan penuh, diikuti oleh 2400 relawan dan mengeluarkan pembiayaan yang cukup besar. Upaya denda pun dilakukan kepada pemilik rumah jika menemukan jentik nyamuk.
"Fogging tidak akan berbahaya bagi manusia, karena hanya akan membunuh nyamuk. Bahan pestisida fogging harus sesuai aturan, dosis insektisida dan solar yang pas akan membunuh secara tepat," imbuhnya.
"Indonesia seharusnya mencontoh Singapura, respon penanggulangan yang cepat harus dilakukan tanpa perlu menunggu kasus untuk mendapatkan hasil yang baik," menurut dr. Budi Haryanto,dalam diskusi media tentang penanggulangan DBD, di Hotel Ritz Carlton, Kamis (27/06/2013).
Dijelaskan dr. Budi Haryanto, Singapura melakukan fogging secara keseluruhan di negaranya selama sebulan penuh, diikuti oleh 2400 relawan dan mengeluarkan pembiayaan yang cukup besar. Upaya denda pun dilakukan kepada pemilik rumah jika menemukan jentik nyamuk.
"Fogging tidak akan berbahaya bagi manusia, karena hanya akan membunuh nyamuk. Bahan pestisida fogging harus sesuai aturan, dosis insektisida dan solar yang pas akan membunuh secara tepat," imbuhnya.
http://rt2rw8.blogspot.com/2010/04/demam-berdarah-dengue.html
http://radarpena.com/read/2013/06/27/1398/3/7/Tanggap-DBD-Indonesia-Mesti-Contoh-Singapura